Oleh: Yasbudaya Bahruddin
Mantan Bankir di Lampung
#1
Tahap Pengenalan Bisnis
Allah Zat yang Maha Agung berfirman dalam QS Al-Baqarah (276); “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
Tidakkah takut dengan segala larangan dan ancaman Allah yang telah disampaikan dalam Al Quran yang tentunya tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertakwa, sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taat), begitu seharusnya terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.
“Tidak ada seorangpun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit” (HR.Ibnu Majah), demikian sabda Rasulullah terkait dengan segala bisnis atau tataniaga yang terkait dengan praktek ribawi. Bahkan ironisnya, tak sedikit dari para pelaku usaha membangun bisnisnya (apapun itu) dari bawah, usaha kecil ‘free riba’ didirikan dan ditumbuhkembangkan sehingga menjadi relatif besar. Setelah tumbuh besar dan ‘sehat’, godaan/rayuan dan iming-iming datang menghampiri untuk mencoba menggunakan pinjaman ribawi dengan berbagai dalih pembenaran (justification).
Ketika usaha sudah berjalan dan berkembang serta dipandang memiliki prospek bagus, saat itu juga tidak sedikit para pemasar atau account officer (AO) suatu bank berdatangan menawarkan produk pinjamannya. Hampir tidak ada bank yang mau memberikan pinjaman kepada orang yang baru buka usaha atau pengusaha pemula. Bak pepatah “ada gula ada semut”, begitu yang terjadi pada dunia bisnis
. Bank sebagai bagian lembaga keuangan yang bertujuan profit oriented melirik dan membidik setiap pelaku usaha yang dipandang layak untuk diberikan kredit, baik sebagai tambahan modal kerja ataupun kredit investasi. Disampaikan dengan sangat meyakinkan bahwa dengan tambahan modal maka usaha akan menjadi semakin berkembang, omzet penjualan meningkat yang tentunya bermuara pada laba akan jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Alhasil, sejak akad kredit ditandatangani, mulai saat itu pula perangkap dan jebakan hutang telah memasukkan bisnis kita kedalam lingkaran setan yang tidak ada ujung pangkalnya. Betapa tidak, walau omzet penjualan meningkat cukup signifikan yang tidak jarang diikuti juga dengan peningkatan nilai piutang.
Menarik untuk dicermati atas “kegagalpahaman” terhadap konsep akuntansi. Bisa jadi pada laporan keuangan terlihat peningkatan asset pada pos aktiva lancar, terutama nilai piutang yang mulai membesar bahkan tidak terkendali menjadi “piutang tidak tertagih”. Bahkan lebih miris lagi, bila prinsip berimbangberlawanan dalam pembukuan bisnis diartikan sebagai tambah utang sama dengan tambah asset. Sehingga pemahaman seperti inilah bisa menjebak para pebisnis masuk perangkap hutang (ribawi) yang tak berujungpangkal, cepat atau lambat jurang “kepailitan” menunggu.
Tampak sukses dan kelihatan kaya, padahal hutang baru kian bertambah dan semakin menumpuk. Kelihatan darmawan ‘rajin sedekah dan infak’, padahal nyata-nyata tidak diterima (tertolak) sedekah dan infak dari hasil perniagaan yang mengandung harta haram. Kelihatan keluarga yang tenang dan bahagia, padahal gelisah karena berbagai urusan membuat sibuk atau beban termasuk mempersiapkan setoran ‘riba’ pinjaman setiap bulan. Puluhan juta uang hasil kerja keras digelontorkan setiap bulan hanya untuk menjaga nama baik pada bank. Setoran bunga alias ‘riba’ yang tidak mengurangi baki debet atau outstanding pinjaman banyak membuat pebisnis terlena dan terjebak ketika jatuh tempo dengan fasilitas suplesi, kredit diperbaharui dengan peningkatan plafond dan/atau jangka waktu pinjaman.
Kerja keras tanpa mengenal waktu (mungkin tidak terlalu salah dengan itu), masalahnya adalah terkikisnya rasa syukur dan sabar. Semuanya dinilai dengan uang, merasa rejeki selalu kurang. Akhirnya terbangun sifat pengeluh, sudah kerja keras kok rasanya kurang terus. Sudah sedekah dan beramal sholih, tapi semakin banyak masalah. Ada apa dengan bisnis saya, apa yang keliru ? Secara logis dan menurut apa yang dimaksud dengan kecerdasan intelektual, orang akan menjawab akibat kesalahan dalam manajemen keuangan, kurangnya monitoring dari aspek pengawasan, dan risiko bisnis yang tidak termitigasi dengan baik.
Hijrah Story berikut merupakan sharing pengalaman bisnis pribadi kami yang diprakarsasi oleh istri (disaat saya masih aktif sebagai pekerja sebuah Bank BUMN), semoga ada manfaat dan pembelajarannya, karena sebaik-baiknya tempat belajar adalah belajar dari ‘pengalaman orang lain’. Mengenang paruh kedua tahun 2013 lalu, masih tergores dalam ingatan dengan sangat jelas, kami (saya bersama istri) memulai membangun tempat usaha (ruko/gudang sembako) di atas lahan hampir 700 M² yang merupakan wujud dari bentuk keseriusan dalam berbisnis yang telah dirintis sejak awal pernikahan (tahun 2000). Kenapa tiba-tiba memilih berniaga barang-barang sembako? Pertanyaan ini pernah dilontarkan oleh rekan kerja saya, karena sepengetahuan dia bisnis yang kami geluti sebelumnya adalah mebel yang dipasok langsung dari Jepara (Jawa Tengah) dengan wilayah pemasaran Lampung dan sekitarnya.
Ada banyak alasan kenapa ide bisnis dagang grosir sembako yang dipilih, diantaranya adalah barang sembako selalu dibutuhkan oleh setiap orang alias selalu ada permintaan (demand) di pasar. Selain itu, sembako bukan barang yang dibutuhkan secara musiman tapi setiap hari. Sehingga potensi permintaan sangat terbuka luas, kendati yang menjadi tantangannya sebagai pemula pendistribusi barang sembako adalah penetrasi dan membangun pangsa pasar (market share).
Setelah ide bisnis pendistribusian sembako ini kami yakini layak untuk dijalankan (tentu sebelumnya dilakukan observasi pasar), kami mulai dengan dagang gula pasir dan tepung tapioka. Dua item produk tersebut kami beli langsung (dimulai dari DO satu truk atau sekitar 8 ton) dari pabrik yang ada di Provinsi Lampung. Untuk gula dilakukan pemasaran secara canvasing yang dikenal banyak pebisnis sebagai aktivitas penjualan untuk melakukan “kontak langsung” dengan pelanggan atau calon pelanggan.
Sedangkan tepung tapioka selain dipasarkan secara canvasing juga dijual di pulau jawa terutama kepada pelaku usaha industri kerupuk (home industry). Alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti, kerjasama dengan beberapa pengusaha industri kerupuk dapat terjalin dengan cara barter saling menguntungkan. Kami sebagai pemasok bahan baku kerupuk, dan kami juga sebagai pembeli kerupuk untuk dijual secara grosir di Lampung. Penetrasi pasar atau memasuki pangsa pasar yang ada sebagai tantangan dalam berbisnis dapat dilakukan dengan baik.
Berjalannya waktu, pelanggan (customer) baik toko pengecer maupun toko grosir yang ada dibeberapa pasar terus betambah berbanding lurus dengan bertambahnya item jenis barang dagangan. Prinsip yang dipegang untuk membangun loyalitas pelanggan yang merupakan pedagang-pedagang sembako adalah one stop service dengan harga yang kompetitif. Konsekuensinya, item barang semakin banyak yang harus disediakan karena permintaan pelanggan akan jenis barang selalu berkembang.
#2
Tahap Pertumbuhan
Upaya penetrasi pasar, mendapatkan pelanggan-pelanggan baru dan membangun loyalitas pelanggan terus dilakukan. Bisnis grosir sembako yang dirintis sejak tahun 2013 tumbuh dan berkembang, yang menurut sebagian rekan bisnis, relatif cepat. Betapa tidak, dari awal mulai bisnis sembako, kendati penjualan grosir, omzet penjualan perbulan tidak lebih dari Rp 100 juta, penjualan terus mengalami peningkatan hingga mencapai lebih dari Rp 3 miliar.
Seiring dengan persaingan harga yang sedemikian ketatnya dan marjin yang relatif sangat kecil mendorong otak menjadi “melar” dengan cepat mempelajari, berpikir dan analisa banyak hal. Sehingga diputuskan untuk mencari dan kerjasama dengan produsen langsung dari beberapa produk sebagai distributor. Alhasil, tidak terlalu lama dengan kelengkapan legalitas yang ada mulai dari pendirian badan usaha, tanda daftar perusahaan (TDP) dan surat izin usaha perdagangan (SIUP) serta negosiasi, kerjasama berupa penunjukkan distributor oleh produsen atau pihak pabrik dapat dikantongi.
Akhirnya beberapa produk kami ditunjuk sebagai distributor, seperti sabun merk Focus Clean (PT. Mitrafokus Indonesia – Cilegon) berbagai jenis sabun dan variansnya, terasi, mie, aneka kerupuk hingga minyak goreng kemasan area pemasaran Lampung. Untuk produk minyak goreng kemasan yang diproduksi/dikemas di Gresik_Jawa Timur ini, upaya penetrasi pasar yang dilakukan dapat berhasil dengan baik. Dengan waktu tidak terlalu lama, merk minyak goreng ini sejak dipasarkan 29-04-2014 dapat bersanding bahkan menggerus market share produk kompetitor.
Target penjualan awal minyak goreng kemasan tersebut satu truk kapasitas 800 dus per bulan terlewati, dengan cara mengoptimalkan channel distribusi melalui pelanggan-pelanggan eksisting. Sekitar enam bulan sebagai distributor (untuk minyak goreng), peningkatan pertumbuhan penjualan cukup signifikan menjadi rata-rata satu fuso kapasitas 2.100 dus atau sekitar 21 ton per minggu. Bisnis minyak goreng tersebut yang kemudian menjadi core business kami dalam perdagangan sembako terus tumbuh dan berkembang.
Seiring dengan besarnya modal untuk mengimbangi permintaan pasar, cukup sering pemasar suatu bank (account officer), bahkan pernah Pinca salah satu bank syariah (BUMN) mampir/melihat aktifitas di tempat usaha kami yang tujuannya menawarkan pinjaman atau pembiayaan usaha. Menjelang beberapa bulan lagi memasuki bulan suci Ramadhan, belajar dari pengalaman tahun sebelumnya barang terhambat oleh angkutan dan penyeberangan pulau Jawa – Sumatera, maka kami memutuskan untuk menambah stok barang yang diperkirakan cukup untuk melayani lonjakan peningkatan permintaan, tapi terkendala terbatasnya modal.
Sangat menggiurkan, teori hukum demand – supply mengajarkan ketika permintaan meningkat lebih besar dari persediaan barang yang ada di pasaran, maka secara otomatis akan mendorong variabel harga naik. Kenaikan harga inilah yang dinanti-nanti oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan diatas normal.
Bak “gayung bersambut”, tawaran yang menggoda (butuh tambahan modal kerja, tingkatkan omzet penjualan, meraih potensi keuntungan di depan mata) akhirnya diambil. Astaghfirullahal’adzim… sungguh langkah yang salah kami lakukan. Sejak akad kredit ditandatangani baik pada bank konvensional maupun bank syariah, mulai saat itu pula sebenarnya jebakan hutang telah memasukkan bisnis kami kedalam lingkaran setan. Kami telah terperosok ke dalam bisnis ribawi. Yaa Robb… ampuni kami.
Tidak dapat dipungkiri secara kasat mata, memang omzet penjualan meningkat secara drastis seiring dengan perputaran cash flow, stok barang di gudang relatif cukup, aktifitas bongkar muat barang tak mengenal waktu, pergerakan barang nyaris 24 jam. Namun tanpa disadari aspek pengawasan pasti terabaikan baik operasional maupun keuangan. Belum lagi dilihat dari pergerakan pos piutang pada aktiva lancar terus bertambah besar.
Beban kerja overload, kualitas hidup dan ibadah menjadi menurun. Kerja keras tanpa mengenal waktu terus dilakukan, saat omzet dan keuntungan menurun tetap saja beban bunga (riba) dibayar demi untuk menjaga nama baik. Puluhan juta setiap bulan digelontorkan–demi menjaga status good boy–hanya untuk pembayaran bunga tanpa mengurangi plafond pinjaman.
#3
Tahap Penurunan (tanpa melalui siklus kedewasaan)
Firman Allah dan Sabda Rasulullah pasti tak kan pernah keliru. Sangat jelas telah disampaikan dalam QS Al-Baqarah (276); “Allah memusnahkan riba… dan begitu juga dengan Hadis Rasulullah bahwa “Tidak ada seorangpun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit” (HR.Ibnu Majah).
Fakta menunjukkan dan kami telah rasakan, sebagai pelaku betapa dahsyatnya efek dari riba. Belasan tahun upaya dan usaha dilakukan sembari bekerja, bisnis dirintis dan ditumbuhkembangkan, sedikit demi sedikit asset dimiliki, kalau Allah sudah berkehendak semuanya bisa habis, lenyap bak ditelan bumi, kembali ke titik nol, bahkan minus karena akumulasi kewajiban (hutang) lebih besar dari asset yang dimiliki.
Tahun 2016, bisnis kami mengalami penurunan sebelum melalui tahap kemapanan. Dalam teori life cycle, setelah memasuki tahap pertumbuhan (growth) bisnis akan berada pada area kemapanan atau tahap kedewasaan, belum terjadi pada bisnis kami. Ketika bisnis yang dijalani melesu, piutang tidak tertagih hingga kecurangan yang dilakukan kompetitor, dan pada saat itu juga sebagian pinjaman ribawi jatuh tempo. Bila dikalkulasi, total plafond pinjaman ribawi (baik pada bank konvensional maupun syariah) hampir Rp 2 miliar ditambah lagi dengan hutang diluar bank termasuk supplier.
Apapun hasil diagnosa dari perjalanan bisnis kami yang silam, itu hanya penyebab perantara saja. Saya berkeyakinan akar permasalahannya adalah akibat dari riba yang nyata-nyata dilarang oleh Allah Zat yang Maha mengenggam kerajaan di langit dan di bumi.
Selama enam belas tahun membina dan membangun bahtera rumah tangga, baru kali ini “badai ekonomi” menerpa yang nyaris menenggelamkan. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, semua aktivitas usaha termasuk upaya penagihan piutang terhenti, “bisnis tumbang”. Kehinaan dan kegelisahan yang dirasakan sepanjang hari dan malam, akibat penagihan dari berbagai pihak mulai dari bank hingga supplier. Anak-anak menjadi tidak nyaman dalam kesehariannya, karena rumah dirasa bukan tempat tinggal sendiri. Gerbang pagar (depan) terpaksa digembok bak rumah tanpa penghuni, keluar masuk lewat pintu belakang, sampai nomor handphone pun dinonaktifkan.
Istri yang menjalankan usaha selama ini menjadi stress dan pesimis dengan masa depan untuk keluar dari masalah. Sementara saya tidak bisa mendampingi secara langsung, karena sudah setahun berjalan bertugas dilain pulau yang pulang sekali dalam seminggu, itupun bila hari Sabtu-nya tidak lembur. Sehingga sempat terpikirkan dan berencana untuk memboyong keluarga ke kota tempat kerjaku. Tapi akhirnya rencana itu tidak terealisasi, karena itu bukan bagian dari penyelesaian masalah. Permasalahan dan ujian mesti dihadapi dan diselesaikan.
Sahabat… hijrah story ini disampaikan tidak sedikitpun ingin menggurui atau merasa sudah bersih dari dosa, tapi paling tidak hijrah adalah pintu gerbang untuk bertaubat dan mendekatkan diri mencari Ridho Allah Zat yang Maha pemberi ampunan. Yaa Allah… jauhkan kami dari riya’ atas hijrah yang kami jalani. Semoga apa yang kami sampaikan menjadi bagian dari dakwah karena kami pernah melakukan kesalahan dan dosa (besar).
Hidayah tidak datang begitu saja.. sahabat!! Mesti dijemput atau ada upaya untuk itu. Belajar agama dengan cara perbanyak literasi, mendengar dari siapa saja yang menyampaikan, ikut kajian dan hindari perdebatan yang tidak mambawa manfaat memperkuat iman dan taqwa. Alhasil, tidak ada kata dan pilihan lain untuk mencari dalil pembenaran sebagaimana sebelumnya, kecuali Hijra! Saatnya untuk hijrah, meninggalkan hal-hal yang dimurkai Allah dan menuju jalan yanhg di-Ridhoi Allah. Tidak ada sebaik-baiknya tempat meminta pertolongan selain kepada Allah Zat Maha penolong. Kami jadikan sholat dan sabar sebagai sarana memohon pertolongan Allah. Kemudian apa yang kami lakukan ?
Hal pertama dilakukan adalah meng-amputasi semua pinjaman ribawi dengan cara menjual assets. Saya ajukan cuti kerja untuk fokus lakukan penjualan asset, dari cara door to door ke orang-orang yang dipandang punya dana hingga pemasangan iklan di situs web iklan baris. Satu persatu asset terjual yang tentunya harga dibawah nilai pasar wajar, mulai dari dua unit mobil (L300), motor, rumah (sewaan), tanah pekarangan, ruko dan gudang (yang selama ini tempat berniaga), hingga penjualan kebun karet.
Alhamdulillah dari dana yang terkumpul (hingga akhir tahun 2016) dapat melunasi / menutup (kendati ada yang belum jatuh tempo) rekening-rekening pinjaman ribawi. Subhanallah… walau assets didapat dengan susah payah dari hasil kerja keras, namun kami merasa sedikit lega dapat menutup kewajiban di bank. Selesaikah akar masalahnya? Tentu belum, karena memasuki tahun 2017 saya masih aktif bekerja di salah satu Bank plat merah yang saya tahu pendapatannya 90% dari riba.
Hal kedua yang saya dan istri sudah berkomitmen adalah resign sebagai pegawai bank. Saya ajukan surat resign kepada manajemen tepatnya tanggal 01 November 2017, di pagi hari setelah doa dan briefing. Saya menghadap bos dan mengutarakan sembari menyerahkan surat, “saya hari ini mengajukan resign efektif terhitung mulai tanggal 31 Desember 2017”. Tentu beliau kaget, diam sejenak dan kemudian bertanya, “kenapa, ada apa, apa alasannya”. Saya sampaikan bahwa kalau bukan keyakinan tidaklah ada alasan bagi saya untuk resign dari perusahaan_yang notabene memiliki asset terbesar dan duabelas tahun tanpa terputus menghasilkan laba tertinggi di industri perbankan. Disamping itu, begitu baiknya perusahaan dalam aspek “penghargaan SDM”. Selama dua puluh tahun berkarier, selain reward dan benefit yang diberikan, perusahaan telah menjadi candradimuka bagi pribadi saya.
Sulit memang, tapi wajib hukumnya setelah mengetahui (sami’na wa atho’na) resign dari zona nyaman yang dinilai oleh banyak orang adalah tempat yang dapat memberikan kepastian penghasilan bulanan. Selain itu, fasilitas mulai dari rumah dinas hingga bonus dan insentif serta benefit lainnya pun ditinggal. Bagi saya resign bukan sekedar pilihan hidup tapi lebih dari itu adalah perintah Allah Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Berkehendak (baca QS Al-Baqarah: 278, QS Ali Imron:130).
Sebuah ungkapan “belajar dari pengalaman dan kesalahan!” tak akan pernah usang dalam kehidupan. Pengalaman kesalahan memang guru besar dalam pembelajaran, tapi alangkah lebih baiknya bila belajar dari pengalaman kesalahan orang lain. Sudah terlalu banyak contoh disekitar kita, baik pelaku usaha maupun pekerja/pegawai disuatu lembaga ribawi, nasabah debitur atau rekan kerja kita sendiri. Ada yang bisnisnya tumbang dengan berbagai sebab, ada juga bahtera rumah tangga hancur berantakan berkeping-keping, hingga (peringatan) sakit tak kunjung sembuh. Masih beruntung, karena diberikan kesempatan untuk bertaubat ! Masihkah kita berani menjalankan apa yang nyata-nyata dilarang oleh Allah Subhaanahu wa ta’aalaa, bahkan Allah memusnakan riba, dan menyatakan maklumat perang kepada pelaku riba. Lalu siapakah pelaku riba itu? Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya”, Ia berkata “mereka itu sama (saja)”. (HR Muslim)
Sahabat.. yuuk bersegera hijrah, tinggalkan hal-hal yang dimurkai Allah dan tuju jalan yang di-Ridhoi Allah. Sabar merupakan kata kunci dalam menjalani hijrah. Karena sabar itu bukan hanya seberapa lama kita menunggu dan seberapa berat tekanan atau beban yang kita pikul, dan bukan pula seberapa pahit kita diuji. Tapi seberapa hebat tekanan dan ujian itu mampu mengasah kita, meng-create gagasan, ide serta keterampilan diri untuk dapat terbebas dari semua itu.
Kemudian senantiasa ber-syukur, menghargai setiap berkah/perolehan apapun yang diterima, karena syukur itu bukanlah berapa banyak atau sedikit yang kita terima. Terakhir, istiqomah yang merupakan wujud dari kesungguhan apa yang kita yakini, karena istiqomah bukan sekedar konsistensi menjalani rutinitas. Sahabat… berpeganglah pada tiga prinsip tersebut, sabar, syukur dan istiqomah. Itulah yang disebut dengan kesuksesan yang hakiki, tatkala seorang manusia bisa mendapatkan suatu kenikmatan yang sifatnya kekal nan abadi, bukan hanya kenikmatan yang sifatnya semu dan fana. Wallahu A’lam Bishawab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.