SAYA percaya ilmu hitam itu ada. Saya pernah mengalaminya sendiri.
Usia 13 tahun, kelas 2 SMP, satu sore, saya ga bisa jalan. Ga bisa menapak tanah. Kaki kiri terasa sakit banget. Zaman itu, tahun 1988, anak miskin seperti saya lazim kemana-mana nyeker, alias ga pake sendal.
Saya ga inget nginjek apa. Tapi bahkan rasa sakit di kaki itu, bisa saya rasakan sampe hari ini (#lebay). Tiga hari kemudian, telapak kaki kiri menggelembung. Ga besar. Tapi bahkan disentuh oleh jari pun, sakitnya bukan main.
Lima hari kemudian, saya udah ga bisa kemana-mana. Maghrib-nya, Mak Is, tetangga sebelah rumah, awet muda, datang bawa penitik. Minta disediain air panas. Saya dibedah pake penitik mahgrib itu, di bawah pohon kersen depan rumah, di atas bale.
Nggak ada bius atau alkohol, jadinya sakitnya juga ga terhingga. Saya menyaksikan sendiri bagaimana telapak kaki saya dicongkel-congkel oleh penitik. Saya melihat, ada begitu banyak nanah muncul dari telapak kaki. Terus mengalir. Sampai kemudian, Mak Is, mendongkel satu utas benang kasur dalam daging kaki saya. Ya, benang kasur. Panjangnya mungkin antara 20 sampai 30 cm.
Bada isya, pembedahan itu selesai. Kaki kiri dibalut oleh kain samping milik emih yang disobek. Sedikit jahe yang ditumbuk dibebatkan ke bekas luka. Mak Is pulang. Kami berterima kasih. Tapi ga pernah ada yang membicarakan bagaimana itu benang kasur bisa ada dalam kaki saya.
Sampai sekarang saya sendiri tidak paham. It really happened. Ilmu hitam, ga pernah dipahami logika. Saat berusia 19 tahun, saya mulai kenal doa Al-Matsurat, dzikir pagi petang yang diajarkan Nabi. “Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.” – Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. []