Oleh: Dini Sri Mulyati
KERETA ekonomi tujuan Purwakarta. Panas dan Bising. Sudah tak heran bukan? Namanya juga kereta ekonomi. Kadang niat menggunakan kereta ekonomi yang tadinya mau irit malah orot. Pedagang asongan, pengamen, pengemis, ada juga tukang bersih-bersih sampah di kereta. Nah, aku punya cerita tentang yang terakhir.
Sore itu suasana lelah. Aku dan teman-temanku sebenarnya ingin istirahat di perjalanan pulang dari Kota Tua Jakarta. Tiba-tiba seorang anak laki-laki, kira-kira usianya delapan tahun, menghampiri kursi kami dengan tergesa-gesa. Anak itu membersihkan kolong kursi kami dengan sapu ijuk, yang sebenarnya tidak terlalu kotor atau banyak sampah yang berserakan.
“Kak… Kak…” kata anak itu sambil menengadahkan tangan.
Kami tak menggubris, terlalu lelah untuk menanggapi. Anak itu semakin ngotot. Tiba-tiba entah apa yang terjadi anak itu berlari meninggalkan kursi kami dengan mengucapkan kata-kata kasar sebelumnya.
Kami yang menyadari hal itu kaget dan langsung terbangun dari tidur kami. Menatap satu sama lain, maksudnya “Kenapa sih anak itu?”.
Beberapa saat kemudian muncul seorang anak perempuan lebih kecil daripada anak laki-laki tadi. Dia berlari gaduh. Mencuri perhatian kami.
Baru saja mau tertidur kembali, suara gaduh orang berlari kembali terdengar. Kali ini suara lari anak laki-laki itu. Disusul anak perempuan yang berteriak-teriak, “balikin… balikin…”Kami langsung terbangun, benar-benar terbangun. Kami putuskan untuk tidak akan tertidur lagi di kereta. Mulai memburu makanan yang dijajakan tukang asongan di kereta.
Sedang asyik-asyiknya makan, anak perempuan itu mendatangi kursi kami. Memunguti sampah-sampah yang berserakan dengan tangannya.
“De, yang tadi anak cowok itu temennya ya?” kata salah seorang temanku.
Anak itu hanya mengangguk-angguk sambil terus menunduk memunguti sampah.
“Kenapa sih tadi pada lari-lari?” tanyanya lagi.
“Itu sapu aku, dia mengambil sapuku, aku minta balikin gak dikasih-kasih makannya aku kejar, Kak,” jawabnya.
“Loh, kenapa emang dia ngambil punya kamu?”
“Nggak tahu kak, kayaknya dia gak suka sama aku, dia emang begitu.”
“Oh, pantesan dia tadi ngomong kasar kayak gitu, emang ade disini mamahnya gak nyariin?”
Anak itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Ade masih sekolah gak?”
Lagi-lagi menggelengkan kepala.
“Terus disini nyari uang buat apa? Buat jajan ya?”
“Iya,” jawabnya sambil membersihkan tangannya pertanda sudah selesai memungut sampah.
Kami menghela nafas. Mulai merogoh saku kami, memberikan sedikit uang kami kepada anak itu. Anak itu pun akhirnya berlalu.
“Katanya, orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara, tapi buktinya… Anak sekecil itu udah tahu gimana sulitnya bersaing nyari uang ya, guys. Kasihan,” katanya setelah anak itu berlalu.
Aku memandang ke luar jendela. Melihat deretan rumah-rumah penduduk di pinggiran jalan kereta. Mencerna kata-katanya barusan, aku hanya bisa menarik nafas. Kereta melaju semakin jauh. []