Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az Zumar: 53)
“Tidakkah salah seorang di antara kami malu”, tanya seseorang di majelis Imam Hasan Al Bashri, “Jika dia berdosa lalu bertaubat. Tapi berdosa lagi lalu bertaubat lagi. Dan melakukan maksiat lagi kemudian beristighfar lagi?”
Sang Imam tersenyum. “Tahukah kalian maksud terbesar syaithan?”, ujarnya. “Yakni agar kalian berputus asa dari rahmat Allah dan berhenti memohon ampun setelah mengulangi dosa. Maka jika dosa terjadi lagi, teruslah bertaubat. Maka jika maksiat terulang kembali, teruslah beristighfar.”
Adalah Imam An Nawawi dalam Al Minhaj, syarahnya atas Shahih Muslim menyusun bab khusus berjudul, ‘Bab Diterimanya Taubat dari Dosa-dosa, Meskipun Dosa dan Taubat itu Terulang-ulang.’
Beliau menjelaskan, “Setiap kali hamba mukallaf berdosa, hendaknya dia bertaubat. Dengan itu dosanya akan gugur. Jika maksiat terulang, maka dia juga harus mengulang taubatnya. Adapun dosa yang terulang-ulang dan baru ditaubati dengan satu taubat di penghujungnya, taubatnya juga sah.”
Ini adalah kabar gembira yang harus diikuti khawatir. Siapa yang menjamin istighfar kita sampai? Siapa yang menggaransi taubat kita diterima?
Akhirnya, ungkapan Imam Ibn Rajab itu bergema lagi, “Jika kalian tak mampu bersaing dengan para shalihin dalam ‘amal ibadahnya, berlombalah dengan para pendosa dalam istighfarnya.” Saatnya pribadi #mncrgknskl berkata, “Gue banyak dosa, temenin istighfar dong!”
Sebab kita wajib beristighfar saat merasa berdosa, dan berlipat perlunya istighfar itu saat kita tak merasa berdosa. Maka taubat kita masih perlu ditaubati, bahkan istighfar kita masih perlu diistighfari. Memang sungguh #mncrgknskl.