BARU tiba pukul 3.00 dini hari tapi pukul 7.00 pagi tetap harus ke sekolah. Rencana istirahat sejenak ternyata harus segera bergerak. Tamu dari Dinas Pendidikan sudah datang duluan.
Saya sambut beliau, memperkenalkan anak-anak dengan keistimewaan masing-masing. Menjelaskan program, menjelaskan kerja guru juga sedikit sesi curhat. Mengajak berkeliling melihat kegiatan yang anak-anak lakukan pada jam itu. Dua jam berlalu, sang tamu pamit. Saya mengantar hingga beliau naik mobil.
BACA JUGA: Ternyata Penyakit Batuk dan Demam pada Anak Tidak Ada Obatnya
Saat kembali ke kelas, dua anak spesial sedang ada masalah. Bu guru nampak sibuk menenangkan satu anak, anak lain masih emosi tinggi.
Saya hampiri mengusap pundaknya, “Mau duduk dulu? Bagaimana ceritanya?”
Lalu dia cerita mengapa bisa semarah itu.
“Oh, begitu, nanti kalau teman mu memakai kaki lagi, katakan kaki untuk berjalan. Kamu pasti bisa mengingatkan dia. Umi percaya kamu bisa”, tukas saya.
Dia sudah jauh lebih tenang.
Saya lihat Bu guru masih kesulitan mengatasi anak satu lagi. Saya coba bantu. Bu Guru mengurus anak lain yang sedang berkegiatan. Anak ini berdiri dan berderai air mata. Dia berusaha merusak hasil karya milik temannya yang terpajang di dinding kelas.
“Boleh menangis, kalau kamu sedih. Agar lebih nyaman, menangis nya boleh sambil duduk”, ujar Saya.
Dia mendengar instruksi kemudian duduk. Air mata nya terus mengalir, tak ada sepatah kata pun muncul dari mulut nya.
“Silahkan menangis saja jika sedih, nanti jika sudah tenang kita bicara,” ucap saya menguatkan.
Tak lama dia nampak mulai lebih tenang. Tangisan sedikit berkurang. Air mata nya tak keluar sederas tadi. Saya usap dan tanya dia, “Sudah lebih tenang?”
Dia mengangguk. “Mau bicara sama Umi?”
Dia gelengkan kepala.
“Mau sama Bu Guru?”
Dia mengangguk tanda setuju.
Saya panggil guru, mereka bicara lalu tak butuh waktu lama anak ini bergabung kembali kedalam kelompok nya.
Kedua anak yang bermasalah ini memiliki kespesialan yang berbeda. Mereka unik. Mereka bisa empati. Mereka bisa peduli. Kami tidak memperlakukan mereka diskriminatif. Kami berikan perhatian sama. Berikan pijakan bahasa yang sama. Sentuhan yang sama. Mereka bisa beradab ketika diperlakukan manusiawi.
BACA JUGA: Manfaat Menangis Untuk Kesehatan Tubuh
Kami katakan hal yang sama kepada anak normal maupun anak spesial.
“Boleh menangis jika sedih dan terluka.”
Semua orang akan senang jika perasaan mereka di terima. Sayang, anak-anak kita tak punya tempat untuk mencurahkan isi hati nya. Di rumah dia diabaikan, setiap hari hanya mendapati Ibu dan Ayah yang marah-marah. Guru di sekolah hanya urus nilai dan ketuntasan materi saja. Maka mereka merasa hampa, tak ada tempat yang bisa mereka datangi untuk berbagi cerita. Anak normal namun nampak “liar”, kekeringan sentuhan kasih sayang.
Saat mereka menangis semua sibuk memvonis. Tak ada yang mau bilang, “Boleh menangis, butuh tempat yang lebih nyaman untuk menangis? Silahkan, ibu antar.” []