SALAH satu pengaplikasian kaidah “لا ضرر ولا ضرار” (Tidak boleh mendatangkan dharar bagi diri sendiri maupun orang lain), adalah kebolehan berobat dengan benda najis, jika kesembuhan hanya bisa didapatkan melalui benda najis tersebut, berdasarkan petunjuk para ahli kesehatan.
Hal ini karena mafsadah mengonsumsi benda najis lebih ringan, daripada membiarkan penyakit bertahan atau bertambah parah.
BACA JUGA: Lalat sebagai Obat Penyakit Syaraf?
Adapun khusus untuk berobat dengan khamr, terdapat khilaf di kalangan Syafi’iyyah. Yang membolehkannya, memasukkannya ke keumuman berobat dengan benda najis. Juga menganggapnya mirip dengan kasus orang yang tersedak atau tersangkut makanan di tenggorokan, dan hanya ada khamr yang bisa diminum untuk menghentikannya, maka saat itu ia boleh meminum khamr tersebut agar tidak jatuh pada kematian.
Sedangkan yang melarangnya, berdalil dengan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إنها ليست بدواء، ولكنها داء
Artinya: “Ia bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim dan lainnya)
BACA JUGA: 10 Obat Penyakit Ghibah
Hadits ini menunjukkan bahwa khamr itu bukan obat, tidak berkhasiat menyembuhkan, sehingga tak boleh berobat dengannya. Dan ini adalah pendapat yang rajih di kalangan Syafi’iyyah.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 1, Halaman 53, Penerbit Dar Al-Bayan, Damaskus.
Facebook: Muhammad Abduh Negara