MAHAR adalah kewajiban seorang suami yang harus ditunaikan kepada istri dalam pernikahan. Mahar bisa berupa barang yang bernilai seperti emas, perak, pakaian dan barang-barang yang lainya yang halal. Hal ini sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Menurut sebagian ulama bisa juga berupa pelayanan yang bisa dinilai dengan uang seperti mengajari Al-Qur’an, Hadits dan ilmu yang lainnya atau mengumrohkan dan menghajikan.
Keterangan lebih rincinya sebagai berikut :
Ada pendapat bahwa mahar tidak sah kecuali dengan uang, emas, perak dan barang yang bernilai. Adapun mahar dalam bentuk pelayanan tidak dianggap sah ini adalah pendapat yang masyhur dalam Madzhab Hanafi dan Maliki.
Adapun di dalam Madzhab Syafii mahar berupa pelayanan adalah sah asalkan pelayanan tersebut ada nilainya yang seandainya tidak ada pernikahan bisa diganti dengan uang atau barang yang bernilai, seperti: Mengajari Al-Qur’an, menjahitkan baju, mengajari ilmu apa saja yang tidak diharamkan. Karena hal tersebut jika seandainya tidak dalam pernikahan bisa dibayar dengan uang atau apa saja yang berharga untuk upah pekerjaan tersebut.
Adapun mahar hafalan dalam arti seorang wanita mau dinikahi seorang laki-laki asalkan laki-laki tersebut mempunyai hafalan Al-Qur’an 30 juz sebagai mahar, maka yang demikian itu tidak sah sebagai mahar. Karena di situ tidak ada kemanfaatan yang bisa dinilai dengan uang atau barang yang kembali kepada seorang wanita, karena ini hanya hafalan seorang suami.
Baru akan menjadi sah jika sang wanita meminta untuk mengajari Al-Qur’an atau Hadits.
Yang harus dimengerti juga bahwa biarpun mahar itu tidak sah bukan berarti pernikahanya tidaka sah. Setiap pernikahan yang maharnya tidak sah atau tidak dianggap maka pernikahan tetap sah akan tetapi sang mempelai pria harus membayar mahar mitsil yaitu membayar mahar dengan disamakan dengan kerabat wanita tersebut atau kebanyakan wanita sekelas dengannya di masyarakat. Jika umumnya maharnya 1 juta maka mempelai pria harus membayar 1 juta. Wallohu a’lam bishshowab.
Sumber: Buyayahya