MENCERITAKAN nikmat Allah SWT merupakan faktor yang bisa mendorong kita untuk bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Seringkali sengaja atau pun tanpa sengaja kita menceritakan amalan-amalan shalih kita di hadapan orang lain. Lalu, bagaimanakah Islam memandang perkara ini? Bolehkan seorang muslim menceritakan amalan shalihnya?
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Firman Allah ‘Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.’ (Al-Baqarah: 271) mengindikasikan bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada menampakkannya, karena yang demikian jauh dari potensi riya’ kecuali apabila menampakkan amalan tersebut ada maslahat yang nyata. Misalnya menampakkan perbuatan tersebut untuk memberikan teladan, maka menampakkan amal ini lebih baik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang membaca Alquran dengan keras seperti halnya orang yang menampakkan sedekahnya sedangkan orang yang membacanya dengan lirih seperti orang yang menyembunyikan sedekahnya.”
Kesimpulannya, menyembunyikan amal itu lebih baik berdasarkan ayat ini. (Tafsir Ibnu Katsir, 1:701).
Syekh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Seseorang yang menceritakan amalan-amalan taat yang dilakukannya tidak terlepas dari dua keadaan:
BACA JUGA: Akhwat Menolak Pinangan Lelaki Sholeh, Bolehkah?
Pertama, motivasi utama pelakunya adalah ingin dikatakan shaleh dan orang baik serta memamerkan amal kebaikannya. Ini sangat berbahaya karena bisa membatalkan amalan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hambanya menyucikan diri-diri mereka dengan firmna-Nya, “Janganlah kalian sucikan diri-diri kalian, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).
Kedua, motivasi dia melakukan hal itu adalah untuk menceritakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga orang-orang yang mendengar kabar tersebut darinya ikut terdorong untuk mencotoh apa yang mereka saksikan. Tentu saja menceritakan amalan pada saat ini adalah perbuatan terpuji, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan terhadap nikmat dari Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Barangsiapa di dalam Islam mencontohkan suatu perbuatan yang baik, maka baginya ganjaran seperti ganjaran orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.” (Nur ‘Ala Darb, 12:30).
Imam Ath-Thabary rahimahullah mengatakan, “Ada sebuah atsar (amalan generasi salaf) tentang keutamaan membaca Alquran dengan memperdengarkan suara dan ada pula atsar tentang melirihkan bacaan. Atsar ini dapat dikompromikan dengan cara, melirihkan bacaan lebih baik bagi siapa yang khawatir disusupi riya’ dan membaca dengan suara yang keras lebih baik bagi siapa yang tidak khawatir riya’ dengan syarat tidak mengganggu orang yang salat, tidur, atau yang lainnya.
Amal yang zahir (nampak) itu terkadang berpengaruh bagi orang lain, maksudnya orang lain bisa mendengarkan, memetik pelajaran, terpengaruh, atau sebagai syi’ar agama. Perbuatan ini juga bisa berpengaruh bagi orang yang membaca dengan keras tersebut; bisa membangunkan hatinya yang lalai, menghimpun semangatnya, mengusir rasa kantuk, dan menjadikan orang lain semangat untuk beribadah. Ketika seseorang memiliki salah satu dari motivasi ini, maka membaca dengan suara yang keras lebih baik dibanding dengan suara yang samar-samar.” (Tuhfatul Ahwadzi, 8:191).
Apabila menceritakan nikmat Allah termasuk menisbatkan keutamaan kepada Allah, pengakuan atas anugerah-Nya kepada hamba-Nya, pengakuan bahwasanya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia, atau memberikan teladan kepada orang-orang untuk berbuat kebajikan sehingga setiap orang yang mencontohnya beramal ia juga medapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, maka ini disyariatkan.
Namun sebaliknya, apabila hal itu dimotivasi untuk menyucikan diri, supaya jadi orang mulia, ingin dilihat dan didengar orang, mendapatkan kedudukan agar ditaati, yang demikian perkara yang tercela dan jelek.
BACA JUGA: Ingin Hapus Dosa, Lakukan Amalan Ini saja
Kedua, apabila seseorang menceritakan nikmat Allah dalam koridor yang disyariatkan, tetapi orang-orang tetap memujinya sehingga ia merasa tersanjung, namun di hatinya tidak terselip ingin dilihat dan didengar orang, maka hal ini termasuk kabar gembira yang Allah segerakan bagi orang-orang beriman.
Disegerakannya kabar gembira seorang mukmin apabila ia beramal saleh dengan mengharap wajah Allah. Orang-orang pun menghormatinya tanpa bergantung padanya dikarenakan amal saleh yang sering ia tampakkan. Ia pun tampak terhormat di hadapan orang dan dipuji dengan pujian yang baik. Ia pun kagum dengan kabar gembira ini.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar radhiallahu’anhu ia mengatakan, “Ada yang mengatakan kepada rasulullah, ‘Apa pendapatmu jika seseorang yang beramal saleh, lalu orang-orang pun memujinya?’ Beliau bersabda, ‘Itulah kabar gembira yang disegerakan bagi orang yang beriman’. Wallahu ‘alam.[]