MENURUT jumhur ulama’, diantara mereka Imam Asy-Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad dalam salah riwayat beliau, Abu Tsaur, dan yang lainnya, mengambil upah dari mengajar agama adalah mubah (boleh). Dan ini, merupakan pendapat yang rajih (kuat).
Mereka berdalil dengan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata : “Ada sekelompok sahabat Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- melewati suatu kaum yang sedang singgah di tempat yang terdapat air. Diantara mereka ada yang seorang yang tersengat binatang berbisa. Maka ada seorang laki-laki dari kaum itu yang menawarkan kepada mereka (para sahabat), seraya berkat : “Siapa diantara kalian yang bisa meruqyah? Di tempat air tersebut, ada seorang yang tersengat binatang berbisa.” Lalu bangkitlah salah seorang sahabat membacakan surat Al-Fatihah (kepada orang yang tersengat tadi) demi mendapatkan upah kambing. Kemudian orang yang disenggat tadi sembuh seketika. Sahabat tadi kemudian membawa kambing tersebut kepada para sahabatnya. Merekapun merasa tidak suka dengan hal itu, seraya berkata: “Engkau mengambil upah dari Al-Qur’an? Sampai tiba di Madinah, mereka menyampaikan hal itu: “Wahai Rosulullah! Dia mengambil upah dari Al-Qur’an? Maka Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab:
BACA JUGA: Semakin Banyak Guru Semakin Baik
«إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ»
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kalian mengambil upah atasnya, adalah kitabullah (Al-Qur’an).” [ HR. Al-Bukhari : 5753 ].
Al-Bukhari menyebutkan atsar dalam hal ini, sebelum menyebutkan hadits di atas dengan shighoh jazm (bentuk kalimat yang pasti). Beliau berkata:
وَقَالَ الحَكَمُ: «لَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا كَرِهَ أَجْرَ المُعَلِّمِ»
“Al-Hakam berkata: “Aku tidak pernah mendengar seorangpun ulama’ yang memakruhkan upah seorang pengajar agama.”[Shohih Al-Bukhari : 3/92].
Al-Imam Syarafuddin Al-Husain bin Abdullah Ath-Thibi –rahimahullah- (wafat : 743 H)berkata:
وقوله صلى الله عليه وسلم في آخر هذا الحديث: ((إن أحق ما أخذتم عليه أجراً كتاب الله)) دليل علي جواز أخذ الأجرة علي تعليم القرآن.
“Ucapan Nabi “SESUNGGUHNYASESUATU YANG PALING BERHAK KALIAN MENGAMBIL UPAH ATASNYA, ADALAH KITABULLAH (AL-QUR’AN), sebagai dalil bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an.” [Al-Kasyif ‘An Haqoiqis Sunan : 7/2211].
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ جَوَازَ الِاسْتِئْجَارِ لِتَعْلِيمِ الْقُرْآنِ عَنِ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً سِوَى أَبِي حَنِيفَةَ
“Al-Imam Al-Qodhi ‘Iyyadh telah menukil bolehnya mengambil sewa/upah dari mengajarkan Al-Qur’an dari seluruh ulama’, kecuali Abu Hanifah.” [Syarh Shohih Muslim : 9/215 ].
Al-Imam Ash-Shon’ani –rahimahullah- berkata:
فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ إلَى جَوَازِ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ
“Jumhur ulama’, Malik, dan Asy-Syafi’i, berpendapat akan bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an.”[ Subulus Salam : 2/117 ].
Bolehnya hal ini, diperkuat dengan riwayat dari sahabat Sahl bin Sa’ad –radhiallohu ‘anhu-. Dimana dalam riwayat tersebut diceritakan ada seorag wanita yang menawarkan diri kepada nabi untuk dinikahi. Akan tetapi nabi belum berkenan waktu itu. Kemudian ada salah seorang sahabat yang ingin menikahi wanita tersebut. Akan tetapi, saat ditanya oleh Nabi tentang mahar yang akan diberikan, sahabat tersebut ternyata tidak memiliki apapun kecuali hanya hafalan dari Al-Qur’an. Maka kemudian nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan :
فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ
“Sungguh aku telah menikahkanmu untuk wanita tersebut dengan (mahar) hafalanmu dari Al-Qur’an.” [ HR. Al-Bukhari : 5029 dan Muslim : 1425 ].
Dalam hadits ini, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-menjadikan hafalan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang digunakan untuk “membeli” (mahar) bagi seorang wanita sebagai timbal balik dari kehalalan kemalauannya untuk laki-laki yang menikahinya. Sehingga telah terjadi tabadul (mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain).
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh Abu Hanifah untuk melarang mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an, atau secara umum mengajar agama, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْكِتَابَ، وَالْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ: لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَأَسْأَلَنَّهُ فَأَتَيْتُهُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ، وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ: «إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا»،
“Aku mengajarkan tentang cara menulis dan (membaca) Al-Qur’an kepada sebagian ahlu shuffah. Maka ada seorang dari mereka yang menghadiahkan busur kepadaku. Maka aku berkata: Busur bukanlah harta dan aku akan menggunakannya untuk memanah di jalan Alloh. Sungguh aku akan datang kepada Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- dan bertanya kepada beliau. Kemudian aku datang kepada beliau dan bertanya: Wahai Rosulullah! Seorang di antara orang-orang yang aku ajari menulis dan membaca Al-Qur’an memberiku hadiah sebuah busur panah. Dan busur bukanlah harta dan akan aku gunakan untuk memanah di jalan Alloh. Beliau berkata: Apabila kamu ingin dikalungi dengan kalung api Neraka, maka terimalah.” [ HR. Abu Dawud : 3416 dan selainnya. Sanadnya shohih ].
Hal ini telah dijawab oleh jumhur ulama’:
BACA JUGA: Menuntut Ilmu atau Mengurus Keluarga?
وَتَأَوَّلُوا حَدِيثَ عُبَادَةَ عَلَى أَنَّهُ كَانَ تَبَرَّعَ بِهِ وَنَوَى الِاحْتِسَابَ فِيهِ وَلَمْ يَكُنْ قَصْدُهُ وَقْتَ التَّعْلِيمِ إِلَى طَلَبِ عِوَضٍ وَنَفْعٍ فَحَذَّرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِبْطَالَ أَجْرِهِ وَتَوَعَّدَهُ عَلَيْهِ وَكَانَ سَبِيلُ عُبَادَةَ فِي هَذَا سَبِيلَ مَنْ رَدَّ ضَالَّةً لِرَجُلٍ أَوِ اسْتَخْرَجَ لَهُ مَتَاعًا قَدْ غَرِقَ فِي بَحْرٍ تَبَرُّعًا وَحِسْبَةً فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهِ عِوَضًا وَلَوْ أَنَّهُ طَلَبَ لِذَلِكَ أُجْرَةً قَبْلَ أَنْ يَفْعَلَهُ حِسْبَةً كَانَ ذَلِكَ جَائِزًا
“Mereka (jumhur) telah menta’wil hadits ‘Ubadah , bahwa dia melakukan hal itu berderma dan niat untuk mendapatkan pahala dari Alloh saja. Saat mengajarkan, dia tidak punya niat untuk mencari imbalan dan kemanfaatan. Maka nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memperingatkan dia dan membatalkan upah yang dia dapatkan serta mengacamnya. Apa yang dilakukan ‘Ubadah ini, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang yang mengembalikan sesuatu yang hilang kepada pemiliknya, atau mengeluarkan perhiasan yang tenggelam di laut kepada pemiliknya sebagai dalam rangka untuk berderma dan mencari pahala dari Alloh saja. Maka tidak boleh baginya untuk mengambil timbal balik (upak) darinya. Seandainya dia meminta upah sejak awal untuk hal itu, atau melakukannya dengan perhitungan (upah tertentu), maka hal itu boleh.”[ Aunul Ma’bud : 9/204 ]. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani