Assalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ustadz, saya ingin bertanya apa ada hubungan antara perkataan dan perasaan dengan kenyataan dalam hidup? Contohnya kita sering mengutuk dan menghina makanan. Bagaimana Islam memandang hal ini? Jazakallah.
BAPAK MUH. CANDRA/HP.0821117861XXX
Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Bapak Candra yang dirahmati Allah SWT, Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan apapun. Beliau akan memakannya jika menyukainya dan membiarkannya jika tidak menyukainya. (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Pernahkah kita merenungkan bagaimana sepiring nasi dan lauk pauknya terhidang di hadapan kita? Ternyata di situ ada sebuah proses panjang untuk mendatangkannya. Sebuah proses yang menggambarkan betapa luar biasanya cinta dan kasih sayang Allah Azza wa Jalla kepada manusia.
BACA JUGA:Â Wudhu bisa Bikin Makanan Bertambah Berkah
Saat terhidang sepiring nasi putih hangat dan wangi saja, ada jutaan proses yang terjadi dengan ribuan orang yang terlibat di dalamnya. Ada pedagang yang menjual bibit dan pupuk. Ada petani yang membajak sawah, mengairi, dan menanamkan benih-benih padi. Ada anak-anak sawah yang menjaga agar di siang hari padi yang menguning tidak dimakan burung. Ada para buruh yang memetik dan memanen padi. Ada orang-orang yang mengumpulkan dan menggiling padi menjadi beras. Ada yang mengemas beras-beras tersebut ke dalam karung.
Tak hanya itu, ada pula kuli yang mengangkut karung-karung tadi ke mobil truk. Sejumlah sopir dan kernet yang membawa beras tersebut ke pasar. Ada para montir dan tukang bensin yang membantu mobil tersebut bisa sampai ke tempat tujuan. Ada para kuli yang menurunkan beras tersebut dan mengangkutnya ke tempat penampungan atau toko-toko beras. Ada para pedagang yang menjual beras-beras tersebut dengan segala pelayanannya.
Lalu ada seseorang yang membeli beras tersebut ke pasar, membawanya ke rumah dengan bantuan tukang ojek, menyimpannya di tempat penyimpanan beras buatan pabrik yang mempekerjakan ribuan orang, kemudian dia membersihkannya dengan air ledeng, menanaknya dengan gas elpiji (proses mendapatkan dan mengemas gas elpiji sendiri sangat rumit dan kompleks), mendinginkannya, lalu menghidangkannya di hadapan kita.
Subhanallah, ada banyak tahapan dan perjalanan panjang yang harus dilalui agar sepiring nasi bisa sampai ke mulut kita.
Itu baru nasi, belum lagi lauk pauknya. Ada ikan dan garam dari laut. Ada asam dan sayuran dari gunung. Ada bahan pangan yang di impor dari luar negeri dan sebagainya. Bagaimana bisa seekor ikan cucut dengan susah payah ditangkap para nelayan di samudera Hindia misalnya, bisa sampai ke rumah kita di Purwakarta, Bandung, Jakarta, Solo, padang, dan tempat lainnya. Bagaimana bisa tomat atau susu segar dari Lembang, Tawangmangu, Brastagi yang merupakan wilayah pegunungan bisa hadir dan dinikmati di daerah pesisir.
Bagaimana bisa sebutir atau dua butir kurma nan manis dari sebuah perkebunan di Arab sana, yang berjarak ribuan kilometer, melintasi samudra, gunung, gurun pasir nan tandus, bisa nyangkut dengan mudahnya si perut kita saat bulan puasa!
Ada berjuta keajaiban di sini yang jarang disadari oleh manusia. Ada banyak mekanisme yang teramat rumit namun indah yang memungkinkan setiap manusia mendapatkan jatah rezekinya dengan cara yang unik. Padahal, di muka bumi ini, makhluk Allah bukan hanya manusia. Ada jutaan spesies hewan dan tumbuhan yang tersebar di daratan dan lautan. Namun, semuanya mendapatkan rezekinya sesuai kadar dan kepastiannya tanpa tertukar antara satu dan lainnya. Allah adalah Ar-Razzaq; Dzat Yang Maha Memberi rezeki dan hanya Dia yang mampu mengatur itu semua.
BACA JUGA:Â Membungkus Makanan Sisa
Jadi alangkah naïf dan bodohnya, jika kita yang tidak punya kuasa apa-apa mengutuk atau mencela hasil akhir dari sebuah proses seindah dan sehebat itu. Mencela makanan, apapun jenis makanan itu, pada hakikatnya menggambarkan ketiadaan adab dan penghormatan kepada dia yang memberi kita makan.
Mencela atau menghinanya sama artinya dengan merendahkan perbuatan Yang Maha Kuasa dan menjerumuskan kita ke dalam sikap kufur nikmat. Padahal, pada saaat bersamaan ada orang-orang yang tengah merintih kelaparan. Sesuap nasi atau segenggam makanan yang kita cela dalam bayangan mereka bagaikan segenggam berlian, saking berharganya.
Itulah sebabnya, dengan sangat indahnya, Rasulullah SAW memberi teladan dalam hal memperlakukan makanan. Jika suka, maka Beliau makan namun jika tidak menyukai Beliau tinggalkan, tanpa membuat celaan. Semoga jawaban yang saya sampaikan bermafaat untuk semua pembaca. Wallahualam. []