SELAMA ini kita hidup tidak hanya dengan muslim saja. Melainkan dengan umat agama lain juga. Tentunya, agama lain pun memiliki rumah ibadah yang mereka sakralkan untuk beribadah mereka. Lalu, bagaimana jika muslim masuk ke dalam rumah ibadah agama lain, bolehkah?
Para ulama bersepakat bahwa masuk ke dalam rumah ibadah agama lain pada saat orang-orang kafir itu sedang menjalankan ritual agama hukumnya haram.
Sedangkan bila di dalam rumah ibadah itu sedang tidak ada ritual agama, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian memakruhkan, sebagian membolehkan dan sebagian lagi mengharamkan secara mutlak.
A. Haram ketika Ada Peribadatan
Ketika sedang ada peribadatan, maka para ulama sepakat mengharamkan seorang muslim masuk ke dalam rumah ibadah agama lain.
1. Al-Quran
Alasan pengharamannya jelas sekali, yaitu kita dilarang ikut dalam peribadatan agama lain. Dan Allah SWT telah menegaskan hal ini dalam Al-Quran Al-Karim.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun : 1-6)
2. Fatwa Umar
Sedangkan hukum memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka adalah haram. Keharaman ini berangkat dari perkataan shahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu.
“Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka.”
B. Ketika Tidak Ada Peribadatan : Khilaf
Sedangkan bila tidak ada akvitas ritual peribadatan di dalam rumah ibadah itu, maka para ulama berbeda pendapat dalam hukum memasukinya. Jumhur ulama umumnya membolehkan hal itu, namun pandangan mazhab Al-Hanafiyah memakruhkannya.
1. Jumhur Ulama : Boleh
Jumhur ulama baik dari mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah serta sebagian ulama Al-Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya.
Di antara dasar kebolehan memasuki rumah ibadah agama lain adalah:
a. Rasulullah SAW Shalat di Depan Ka’bah
Ketika Rasulullah SAW masih tinggal di Mekkah, saat itu Ka’bah masih dikelilingi dengan 360 berhala. Boleh dibilang bahwa saat itu Ka’bah lebih merupakan tempat ibadah orang kafir, ketimbang rumah ibadah agama Islam.
Namun beliau SAW tetap datang dan masuk ke Ka’bah. Bahkan beliau SAW shalat di depan Ka’bah, padahal di sekeliling beliau terdapat berhala yang begitu banyak.
Hanya saja beliau tidak mau ikut dalam ritual ibadah yang dikerjakan oleh orang kafir jahiliyah. Sehingga ketika orang-orang jahiliyah sedang menjalankan ritual ibadah mereka, beliau SAW tidak turut campur.
b. Rasulullah SAW Masuk Masjid Al-Aqsha
Walaupun di dalam Al-Quran tetap disebut dengan istilah Al-Masjid Al-Aqsha, namun ketika Rasullullah SAW di-isra’-kan kesana, sebenarnya saat itu wujud masjid itu lebih merupakan tempat ibadah orang-orang Nasrani.
Faktanya saat itu memang belum ada orang yang beragama Islam di tempat itu, yang ada hanyalah pemeluk agama nasrani, alias kristen. Maka kedudukannya tempat itu lebih merupakan rumah ibadah agama Kristen.
Pada saat itu dakwah Nabi dan penyebaran Islam memang belum mencapai tempat sejauh itu. Peristiwa isra’ itu terjadi menurut para sejarawan, kurang lebih satu setengah sebelum hijrah. Jangankah Palestina, Madinah pun belum mengenal agama Islam.
Namun diriwayatkan bahwa beliau SAW pada saat isra; itu masuk ke dalamnya, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau shalat sunnah di dalamnya.
c. Umar di Masjid Al-Aqsha
Ketika Rasulullah SAW wafat, akhirnya beberapa tahun kemudian barulah dakwah Islam masuk ke Palestina, hingga Masjid Al-Aqsha secara resmi diserahkan kepada umat Islam lewat tangan Umar.
Pada saat itu Umar memang menolak untuk mengerjakan shalat di dalamnya, namun alasannya bukan karena keharamannya, melainkan karena untuk menjaga perasaan dan hati para pemeluk nasrani. Selain itu beliau sendiri lebih ingin shalat di lokasi dimana Rasulullah SAW take-off menuju Sidratil Muntaha, karena pastilah tempat itu punya nilai khusus.
Akhirnya di tempat itu didirikan sebuah masjid, yang diberi nama masjid Umar. Lokasinya hanya bersebelahan saja dengan masjid Al-Aqsha yang tadinya rumah ibadah agama nasrani.
Syarat
Tapi sebahagian yang lainnya mensyaratkan harus ada izin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. Oleh karena itu hukum memasuki gereja seperti halnya untuk menghadiri perkawinan atau bertugas melakukan pekerjaan tertentu, bukanlah sesuatu yang diharamkan. Syaratnya adalah orang muslim tersebut tidak melaksanakan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan agama.
Meskipun demikian, sebaiknya dia tidak melakukannya kecuali jika dianggap perlu dan mendesak.
2. Mazhab Al-Hanafiyah : Makruh
Ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah menyatakan bahwa makruh hukumnya seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir.
Yang menjadi dasar kemakruhannya bukan karena seorang muslim tidak punya hak untuk memasukinya. Namun dasarnya karena tempat ibadah agama lain itu merupakan tempat berkumpulnya setan.
Oleh karena itu pada dasarnya sekedar masuk ke dalam rumah ibadah bukan haram hukumnya, tetapi makruh karena menghindar dari kumpulan setan.[]
SUMBER: RUMAH FIQIH