PENYAKIT yang bisa saja diderita oleh perempuan banyak macamnya. Salah satunya istihadhah. Apa itu? Istihadhah merupakan darah yang keluar dari bawah rahim perempuan tidak pada waktu haid atau nifas.
Maka, setiap darah yang datang lebih lama dari masa haid atau nifas, atau kurang dari masanya yang paling singkat, atau darah yang mengalir sebelum usia haid (yaitu umur sembilan tahun), maka darah itu adalah darah istihadhah.
Penderita istihadhah ini bukan hanya menjadi masalah bagi perempuan. Bagi seorang penderita yang sudah menikah, tentu menjadi masalah pula bagi suaminya. Mengapa?
BACA JUGA: Wanita Istihadhah, Begini Ketentuan Ibadahnya
Sebab, kita tidak tahu apakah istihadhah ini sama hukumnya seperti haid atau kah tidak. Terutama dalam hal, apakah boleh seorang penderita istihadhah melakukan watha’ (sanggama)?
Perihal membolehkan penderita istihadhah melakukan watha’ terdapat tiga pendapat.
1. Golongan yang membolehkan penderita istihadhah melakukan watha’, yaitu para Fuqaha dari beberapa daerah. Pendapat mereka ini berlandaskan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa’id bin Musayyab, beserta satu jamaah tabi’in.
Ibnu Abbas mengatakan tentang perempuan istihadhah. Katanya, “Tidak mengapa bila suaminya (perempuan penderita istihadhah) bersenggama dengannya, sekali pun darah mengalir sesudah itu.”
2. Golongan yang tidak membolehkan penderita istihadhah melakukan watha’. Pendapat ini bersumber dari Aisyah RA, difatwakan oleh An-Nakha’i dan Al-Hikam.
Mereka yang melarang ini mengatakan, “Setiap tetes darah adalah kotoran yang wajib dibersihkan dari pakaian dan badan. Maka tidak ada bedanya dalam hal sanggama antara darah haid atau darah istihadhah, karena masing-masingnya adalah najis.
BACA JUGA: Ini Dia 3 Golongan Wanita Istihadhah
Adapun shalat dikecualikan karena sunnah memberi rukhshah (kelapangan) seperti halnya orang yang berpenyakit diabetes (kencing terus menerus). Tetapi, pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur.
3. Golongan yang tidak membolehkan suami penderita istihadhah mendatanginya untuk sanggama kecuali jika istihadhahnya itu berkepanjangan. Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. []
Referensi: Fiqih Perempuan/Karya: Muhammad ‘Athiyah Khumais/Penerbit: Media Da’wah