JIKA ada yang menyatakan, bahwa: “Qunut Shubuh itu bid’ah, dan pelakunya ahli bid’ah!”, ini sebuah pernyataan yang keliru, bahkan fatal kekeliruannya. Kenapa? Karena Qunut Shubuh termasuk masalah ijtihadiyyah, bukan masalah ushul (pokok) agama yang pelakunya bisa divonis seperti itu. Oleh karenanya, para ulama berselisih pendapat di dalamnya. Ada yang berpendapat disyari’atkan dan ada yang tidak.
Jika seseorang berpendapat Qunut Shubuh tidak disyari’atkan dalam rangka mengikut imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, itu sah-sah saja. Tapi kalau melazimkan pendapatnya bahwa pelakunya sebagai “ahli bid’ah”, ini yang bermasalah. Kalau dikatakan “ahli bid’ah”, itu artinya sesat atau menyimpang yang berkonsekwensi keluar dari Ahlus Sunnah.
BACA JUGA: Doa Qunut dalam Shalat Maghrib
Ketika seorang mentabdi’ (menvonis ahli bid’ah) kepada siapa saja yang mengamalkan Qunut Shubuh, secara tidak langsung dia juga telah mentabdi’ para imam yang berpendapat akan disyari’atkannya hal ini, seperti imam Malik bin Anas dan Imam Asy-Syafi’i, murid-murid keduanya, serta para ulama dari kedua madzhab yang mengikuti pendapat ini dari masa ke masa. Tidak hanya puluhan, bahkan mungkin mencapai ratusan atau ribuan.
Coba kita mau tanya, Siapakah ulama salaf (pendahulu ) yang menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah ini sebagai alasan untuk mentabdi’ orang lain ? Kita jamin tidak akan didapatkan. Justru yang ada, sikap mereka kembalikannya.
Berbicara dalam masalah agama wajib memiliki sandaran dari para ulama Salaf. Agar lebih terbimbing sehingga potensi untuk tersesat dapat diminimalisir. Karena segala apa yang kita sampaikan, akan ada pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Apalagi berkaitan dengan sebuah vonis terhadap saudara sesama muslim, terlebih kepada para ulama yang merupakan pewaris para nabi.
Imam Ahmad bin Hanbal – rahimahullah – (w.241 H) pernah berkata kepada al-Maimuni :
وَإِيَّاكَ أَنْ تَتَكَلَّمَ فِيْ مَسْأَلَةٍ وَلَيْسَ لَكَ فِيْهَا إِمَامٌ
“Hati-hati kamu dari berbicara dalam suatu masalah, sedangkan kamu tidak memiliki imam (pendahulu) dalam masalah tersebut.”[Siyar a’lamin Nubala’ : 11/296].
Dalam masalah ijtihadiyyah, seorang yang memilih untuk mengikuti suatu pendapat, tidak boleh baginya untuk mengingkari orang lain yang pendapatnya berbeda dengannya, selama pendapat itu memiliki sisi istidlal (pendalilan) yang dibenarkan dan imam yang berfatwa dengannya. Jika mengingkari saja tidak boleh, apalagi sampai mentabdi’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- (w. 728 H)berkata :
فَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ مَالِكٍ وَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ أَحْمَدلَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ وَنَحْوُ ذَلِكَ
“Maka barang siapa yang berpandangan lebih kuat di sisinya untuk mengikuti imam Syafi’i, tidak boleh untuk mengingkari seorang yang berpandangan lebih kuat di sisinya untuk mengikuti imam Malik. Dan barang siapa yang berpandangan lebih kuat di sisinya untuk mengikuti imam Ahmad, tidak boleh untuk mengingkari seorang yang berpandangan lebih kuat di sisinya untuk mengikuti imam Syafi’i, dan yang semisal dengan hal itu.”[Majmu’ Al-Fatawa : 20/292-293].
Salah seorang ulama Salafy, yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- menyatakan :
أنا أتحرج من أن يكون مخالف السنة على وجه يسوغ فيه الاجتهاد مبتدعاً، فالذين يضعون أيديهم على صدورهم بعد الرفع من الركوع إنما يبنون قولهم هذا على دليل من السنة، فكوننا نقول: إن هذا مبتدع؛ لأنه خالف اجتهادنا، هذا ثقيل على الإنسان، ولا ينبغي للإنسان أن يطلق كلمة بدعة في مثل هذا؛ لأنه يؤدي إلى تبديع الناس بعضهم بعضاً في المسائل الاجتهادية التي يكون الحق فيها محتملاً في هذا القول أو ذاك، فيحصل به من الفرقة والتنافر ما لا يعلمه إلا الله.
BACA JUGA: Jika Imam Qunut, Maka Makmun juga Ikut Qunut
“Saya merasa sempit (tidak boleh) untuk menyatakan mubtadi’ (ahli bid’ah) bagi seorang yang menyelisihi sunnah di dalam perkara yang dibolehkan ijtihad di dalamnya. Orang-orang yang meletakkan tangan-tangan mereka di dada setelah bangkit dari ruku, mereka membangun pendapatnya di atas dalil dari sunnah. Perkataan kita : “Sesungguhnya orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah)”, karena dia menyelisihi ijtihad kita, Ini merupakan perkara yang berat bagi seorang insan. Tidak pantas bagi seorang insan untuk memutlakkan kata bid’ah di dalam perkara yang seperti ini. Karena hal ini akan mendorong sebagian manusia untuk membid’ahkan sebagian yang lain dalam masalah-masalah ijtihad, yang kebenaran di dalamnya masih mengandung kemungkinan ada pada pendapat ini atau pendapat itu. Maka dengan sebab hal ini, akan terjadi perpecahan dan pertengkaran yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.” [Fatawa Arkanil Islam, hlm. : 324].
Jika anda berpendapat Qunut Shubuh tidak disyari’atkan, maka hendaknya anda menghormati orang lain yang berpendapat disyari’atkan. Tidak boleh bagi anda untuk menjadikan masalah ini sebagai alasan untuk bermusuhan, apalagi sampai mentabdi’ orang lain. Karena cara-cara seperti ini bukan dari manhaj Salaf. Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-jirani