TANYA: Ustadz, apakah boleh menunaikan shalat tarawih dua kali dalam semalam?
JAWAB: Alhamdulillah, dikutip dari Islamqa. Pertama: Shalat tarawih adalah qiyamul lail di bulan Ramadhan. Qiyamul lail baik di bulan Ramadhan maupun selain Ramadhan tidak ada batasan shalat tertentu seorang muslim tidak boleh melakukannya. Dia diperbolehkan menunaikan shalat malam di Ramadhan dan selainnya berapapun jumlah shalatnya. Kalau sekiranya jamaah masjid membagi shalat malam di bulan Ramadhan menjadi dua bagian, sebagian shalat setelah isya’ dan sebagian lain di akhir malam agar mendapatkan keutamaan waktu sahur dan bersungguh-sungguh dalam beribadah terutama di sepuluh akhir. Dan menjadikan witir akhir shalatnya, hal itu tidak mengapa.
Para ulama Lajnah Daimah Lil Ifta’ mengatakan, “Tidak mengapa menambah bilangan rakaat pada sepuluh akhir dari bilangan dua puluh pertama dan dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian shalat di awal malam dengan ringan sebagaimana shalat tarawih dua puluh pertama. Dan satu bagian shalat di akhir malam dan dipanjangkan karena tahajud. Dahulu biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersungguh-sungguh di sepuluh akhir tidak seperti sungguh-sungguh di lainnya.” Selesai dari ‘Fatawa Lajnah Daimah. Vol II, (6/82).
Kedua: Tidak mengapa juga, orang yang telah shalat tarawih di masjid, kemudian mendapatkan masjid lain masih menunaikan shalat, dia pergi dan shalat bersama jamaah. Akan tetapi jangan shalat witir dua kali. Kalau telah witir dengan pertama, tidak witir dengan yang kedua. Karena tidak ada dua witir dalam semalam.
Contohnya, kalau sekiranya dia imam shalat dengan jamaah di dua masjid. Atau shalat dengan dua jamaah. Di awal malam dan di akhirnya. Atau shalat sebagai makmum pada salah satunya. Dan sebagai imam pada masjid lainnya. Semuanya itu diperbolehkan tidak mengapa insyaAllah.
Diriwayatkan Abu Dawud, 1439 dan redaksi darinya, Tirmizi, 470. Nasa’I, 1679 dan Ahmad, 16296 dari Qois bin Tolq berkata:
زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأَمْسَى عِنْدَنَا ، وَأَفْطَرَ ، ثُمَّ قَامَ بِنَا اللَّيْلَةَ ، وَأَوْتَرَ بِنَا ، ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ ، فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ ، حَتَّى إِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلًا ، فَقَالَ : أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ ، فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ( لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ ) ، وهذا الحديث حسنه ابن الملقن في ” البدر المنير ” (4/317) ، وكذا الحافظ في الفتح (2/481) ، وحسنه محققو المسند ، وصححه الألباني في ” صحيح سنن أبي داود
“Satu hari di bulan Ramadhan Tolq bin Ali mengunjungi kami. Sore bersama kami dan berbuka. Kemudian berdiri (shalat) malam hari dan berwitir bersama kami. Kemudian kembali ke masjidnya dan shalat bersama rekan-rekannya. Sampai ketika sisa witir, seseorang dimajukan dan mengatakan, “Berwitirlah dengan teman-temanmu. Karena saya mendengar Nabi sallallahu alai wa salam bersabda, “Tidak ada witir dalam satu malam.” Hadits ini dihasankan oleh Ibnu Mulaqin di ‘Badrul Mnir, (4/317) begitu juga Al-Hafid di Fath, (2/481) dihasankan oleh peneliti musnad dan dinyatakan shoheh oleh Albani di Shoheh Sunan Abi Dawud.
Sindi rahimahullah mengatakan, “Shalat dengan teman-temannya. Yang nampak dia shalat dengan mereka fardu dan sunah bersamaan. Sehingga sekelompok mengikutinya dalam fardu, jadi mengikuti yang fardu dengan sunah.” Selesai dari ‘Hasyiyah Sindi ‘Ala Sunan Nasa’I, (3/230).
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan terhadap seseorang shalat di bulan Ramadan, berdiri melakukan witir dengan mereka sementara dia ingin shalat dengan sekelompok lainnya? Beliau rahimahullah mengatakan, “Menyibukkan diantara keduanya dengan sesuatu dengan makan atau minum atau duduk.” Diriwayatkan oleh Marwazi.
Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Hal itu karena dimaksudkan melanjutkan witir dengan shalat. Sehingga menyibukkan diantaranya dengan sesuatu. Agar ada jeda antara witir dengan shalat kedua. Hal ini kalau shalat bersama mereka di tempatnya. Kalau di tempat lain, maka perginya sudah termasuk jeda. Tidak boleh mengulangi witir dua kali (tidak ada dua witir dalam satu malam).” Selesai dari ‘Badai’ Fawaid, (4/111).
Kebanyakan ahli fikih bahwa contoh semacam itu diperbolehkan secara mutlak dan tidak dimakruhkan sama sekali. Silahkan melihat ‘’Fathul Bari karangan Ibnu Rajab, (6/258-259).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kalau Anda telah melakukan witir di masjid Anda, kemudian anda pergi ke masjid lain dan mendapatkan jamaah melakukan shalat, masuk dan shalatlah bersama mereka. Kalau mereka witir, Anda berdiri setelah witir dan shalat satu rakaat untuk menyempurnakan agar menjadi genap. Karena Anda telah witir sebelumnya.” Wallahu a’lam. []