SHALAT tarawih, boleh lebih dari sebelas rekaat. Dan ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ). Diantara mereka Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Bahkan mereka ( jumhur ulama’ yang diantara nama-nama mereka telah kami sebutkan ), berpendapat bahwa yang afdhol ( lebih utama ) sholat tarawih itu dua puluh rekaat.
Pendapat ini didasarkan kepada beberapa argument, diantaranya :
■Pertama :
Hadits dari sahabat Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu -, sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
«صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ، صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى»
“Shalat malam dua-dua, jika salah seorang diantara kalian khawatir tibanya waktu shalat subuh, maka shalat witirlah satu raka’at”. [ HR. Muslim : 749 ].
Sisi pendalilannya dari hadits di atas, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak membatasi jumlah rekaat dalam sholat tarawih. Bahkan beliau hanya mengatakan kalau sholat malam itu “dua-dua”, artinya : “dua rekaat salam-dua rekaat salam”. Kalimat ini justru menjadi indikasi, bahwa sesungguhnya jumlah rekaat sholat malam – termasuk di dalamnya sholat terawih – adalah tidak terbatas.
BACA JUGA: Bolehkah Tarawih di Masjid dan Witir di Rumah?
Bahkan kalimat setelahnya yang berbunyi “jika salah seorang diantara kalian khawatir tibanya waktu shalat subuh, maka shalat witirlah satu raka’at”, menjadi indakasi tambahan, bahwa sholat malam itu jumlahnya tidak terbatas. Kenapa ? karena nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan terus untuk sholat malam sampai mendekati shubuh. Dalam kurun waktu itu, tentunya jumlah rekaat yang dilakukan oleh seorang berbeda-beda tergantung mulainya jam berapa, dan keinginan masing-masing orang yang melakukannya. Apalagi jika dilakukan sampai mendekati waktu sholat shubuh.
Pendalilan jumhur dengan hadits di atas, sungguh suatu pendalilan yang sangat jeli dan detail sekali. Yang mungkin banyak di antara kita tidak terpikir sampai ke arah tersebut. Oleh karenanya, hendaknya kita berhati-hati untuk menyelisihi pendapat jumhur ulama’, apalagi sampai menyalahkan dan menvonis bid’ah.
■Faidah :
Salam setiap dua rekaat, hukumnya sunnah bukan wajib. Artinya, jika seorang salam tiap lebih dari dua rekaat, maka juga boleh. Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :
هَذَا الْحَدِيثُ مَحْمُولٌ عَلَى بَيَانِ الْأَفْضَلِ وَهُوَ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَسَوَاءٌ نَوَافِلُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ جَمَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيمَةٍ أَوْ تَطَوُّعَ بِرَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ جَازَ
“Hadits ini dibawa kepada kemungkinan penjelasan yang lebih afdhol. Yaitu, hendaknya seorang salam setiap dua rekaat. Baik sholat sunnah malam hari atau siang hari, dianjurkan untuk salam setiap dua rekaat. Seandainya seorang mengumpulkan beberapa rekaat dengan satu salam atau sholat sunnah dengan satu rekaat saja, maka hal itu boleh”. [ Syarah Shohih Muslim : 6/30 ].
Ini sebagai bantahan terhadap mereka yang mengharuskan sholat terawih harus dua-dua, dan menyalahkan yang empat-empat. Insya Alloh masalah ini akan dibahas secara khusus pada artikel yang akan datang.
■Kedua :
Hadits yang diriwayatkan dari sahabat Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami – rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
كنتُ أبيتُ مع رسولِ الله – صلَّى الله عليه وسلم – آتيه بوَضوئه وبحاجته، فقال: “سلني” فقلت: مرافَقَتَك في الجنة، قال: “أوْ غيرَ ذلك” قلت: هو ذاك، قال: “فأعنِّي على نَفسِكَ بكثرةِ السُجود”
“Aku bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku juga pernah mengambilkan air wudlu’ dan air untuk buang hajat untuk beliau. Lalu beliau bersabda: “Mohonlah kepadaku.” Kataku; ‘Aku memohon dapat bersama anda di surga’. Beliau menegaskan, ‘Adakah yang lain? ‘Aku menjawab, ‘Itu saja’. Beliau bersabda: ‘Bantu aku untuk dirimu sendiri dengan memperbanyak sujud’.” [ HR. Abu Dawud : 1320 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth –rohimahullah- ].
Kalimat nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- “dengan memperbanyak sujud”, menjadi tambahan dalil bahwa sholat malam jumlah rekaatnya tidak terbatas. Semakin banyak, maka semakin baik. Tidak terbatas hanya sebelas rekaat dengan witir sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Konteks hadits di atas pada sholat malam dengan dalil ucapan Rabi’ah : “Aku bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.
■Ketiga :
Telah diriwayatkan dari As-Saib bin Yazid –rodhiallohu ‘anhu-, sesungguhnya beliau berkata :
كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Mereka ( para sahabat ) sholat tarawhi di zaman Umar bin Al-Khoththob –rodhiallohu ‘anhu- dua puluh rekaat di bulan Ramadhan….”.[ HR. Al-Baihaqi dalam “Sunan Al-Kubro” : 4288 dan sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Arnauth dalam tahqiq beliau kepada kita “Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rosul : 6/123 ].
Riwayat di atas menunjukkan, sesungguhnya sholat terawih lebih dari sebelas rekaat, merupakan perkara yang diperbolehkan. Terbukti para sahabat melakukannya di zaman Umar bin Al-Khoththob – rodhiallohu ‘anhu -.
Umar bin Al-Khoththob termasuk salah satu khulafa’ rosyidin ( khalifah yang mendapatkan petunjuk ) yang kita diperintahkan untuk berpegang dengan sunnahnya. Sebagaimana Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ yang mendapatkan petunjuk. Pegang eratlah ia dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu”. [ HR. Abu Dawud : 4067 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].
Apakah kita berani untuk mengatakan bahwa para sahabat waktu itu termasuk di dalamnya Umar bin Al-Khathab telah melakukan suatu kebid’ahan karena tidak sama jumlah rekaatnya dengan nabi saat sholat terawih ?
■Keempat :
Telah terjadi ijma’ ( konsensus/kesepakatan ) para ulama’, bahwa sholat malam tidak ada batasan rekaatnya. Al-Imam Ibnu Abdil Barr –rohimahullah- ( wafat : 463 H ) :
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنْ لَا حَدَّ وَلَا شَيْءَ مُقَدَّرًا فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ وَأَنَّهَا نَافِلَةٌ فَمَنْ شَاءَ أَطَالَ فِيهَا الْقِيَامَ وَقَلَّتْ رَكَعَاتُهُ وَمَنْ شَاءَ أَكْثَرَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
“Para ulama’ telah sepakat, sesungguhnya tidak ada batasan dan tidak ada sesuatu yang ditetapkan dalam ( jumlah rekaat ) dalam sholat malam. Sesungguhnya ia adalah sholat sunnah. Maka barang siapa yang ingin memperpanjang berdiri di dalamnya dan menyedikitkan rekaatnya ( dipersilahkan ). Dan barang siapa yang ingin memperbanyak rukuk dan sujudnya ( rekaatnya ) maka juga ( dipersilahkan )”. [ Al-Istidzkar : 2/102 ].
Dan ijma’, merupakan hujjah ( argument ) dalam syari’at. Sebagaimana telah dimaklumi dalam pelajaran ushul fiqh. Demikianlah empat hujjah ( argument ) dari jumhur ulama’ dalam masalah ini. Tentu hal ini lebih dari cukup untuk menjadi dali, sesungguhnya sholat terawih itu tidak ada batasan rekaatnya.
Al-Imam Ibnu Qudamah –rohimahullah- berkata :
والمختار عند أبي عبد الله رحمه الله فيها عشرون ركعة وبهذا قال الثوري و أبو حنيفة و الشافعي وقال مالك : ستة وثلاثون
“Pendapat yang dipilih oleh Abu Abdillah ( maksudnya Al-Imam Ahmad bin Hambal ) –rohimahullah- dua puluh rekaat. Ini juga merupakan pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i. Al-Imam Malik berpendapat : 36 rekaat”. [ Al-Mughni : 1/833 ].
Adapun mereka yang berpendapat bahwa sholat tarawih itu harus sebelas rekaat, dan membid’akan sholat terawih yang lebih darinya,, ini pendapat yang sangat lemah dan sangat aneh. Pendapat ini kita katakan aneh, karena tidak ada seorangpun dari ulama’ salaf yang berpendapat dengan pendapat ini –sejauh ilmu yang kami ketahui -.
Pendapat ini berdalil dengan hadits Aisyah –rodhiallohu ‘anha-, dimana beliau berkata :
«مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً »
“Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak pernah sholat di bulan Ramadhan dan selainnya lebih dari sebelas rekaat.” [ HR. Al-Bukhari : 1147 dan Muslim : 738 ].
BACA JUGA: Apakah Ada Ketentuannya Surat-surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih?
Riwayat di atas tidak bisa dijadikan dalil pembatasan sholat tarawih harus sebelas rekaat. Karena ia hanyalah hikayatul fi’li ( penghikayatan tentang perbuatan nabi ). Paling tingginya, hal seperti ini hanya menunjukkan kepada anjuran saja. Demikian pula, riwayat ini tidak bisa dijadikan mukhoshshish ( pengkhusus ) terhadap dalil-dalil umum yang telah kami sebutkan sebagiannya. Sebagaimana hal ini telah dimaklumi dalam pembahasan ilmu ushul fiqh.
Lebih dari itu, para sahabat yang lain serta generasi setelahnya, tidak ada yang memahami hal itu sebagai pembatasan. Bahkan telah terjadi ijma’ tidak terbatasnya jumlah rekaat sholat malam sebagaimana telah dinukil oleh Ibnu Abdil Barr –rohimahullah-. ( lihat kembali point ke 4 ).
Perlu untuk diketahui, sesungguhnya sholat tarawihnya nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- sebanyak sebelas rekaat waktu itu, menyesuaikan kondisi makmum yang ada di zaman tersebut. Oleh karenanya, beliau sholat dengan jumlah rekaat tersebut, akan tetapi dipanjangkan bacaannya. Hal ini tidak harus diberlakukan diseluruh zaman sepeninggal beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Karena kondisi manusia pada setiap masa berbeda-beda dari sisi kemampuan dan semangat dalam beribadah kepada Alloh. Terbukti di zaman Umar bin Al-Khoththob –rodhiallohu ‘anhu- para sahabat melakukan sholat tarawih dua puluh rekaat dengan dipendekkan bacaannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahullah- berkata :
في قيام رمضان لم يوقت النبي صلى الله عليه وسلم فيه عدداً معيناً، بل كان هو صلى الله عليه وسلم لا يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة، لكن كان يطيل الركعات، فلما جمعهم عمر على أبي بن كعب كان يصلي بهم عشرين ركعة ثم يوتر بثلاث، وكان يخف القراءة بقدر ما زاد من الركعات، لأن ذلك أخف على المأمومين من تطويل الركعة الواحدة، ثم كان طائفة من السلف يقومون بأربعين ركعة، ويوترون بثلاث، وآخرون قاموا بست وثلاثين وأوتروا بثلاث، وهذا كله سائغ، فكيفما قام في رمضان من هذه الوجوه فقد أحسن، والأفضل يختلف باختلاف أحوال المصلين….ومن ظن أن قيام رمضان فيه عدد موقت عن النبي صلى الله عليه وسلم لا يزداد فيه ولا ينقص منه فقد أخطأ.
“Dalam sholat terawih di bulan Ramadhan, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menentukan jumlah rekaat tertentu di dalamnya. Bahkan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- di bulan Ramadhan tidak lebih dari tiga belas rekaat. Akan tetapi saat itu nabi memperpanjang rekaat-rekaatnya. Maka tatkala Umar mengumpulkan para sahabat kepada Ubai bin Ka’ab, saat itu Ubai mengimami mereka dua puluh rekaat kemudian witir tiga rekaat. Saat itu beliau meringankan bacaan seukuran lebih dari beberapa rekaat. Karena hal itu lebih meringangkan para makmum daripada memperpanjang satu rekaat. Kemudian setelah itu sebagian salaf sholat terawih empat puluh rekaat dan witir tiga rekaat. Dan yang lain sholat tiga puluh enam rekaat dan witir tiga rekaat. Semua ini perkara yang diperbolehkan. Dengan cara yang mana saja seorang menunaikan sholat terawih di bulan Ramadhan, maka hal itu baik. Sesuatu yang paling utama itu akan berbeda dengan perbedaan keadaan orang-orang yang sholat……Maka barang siapa yang menyangka sesungguhnya sholat tarawih di bulan Ramadhan di dalamnya ada jumlah rekaat tertentu dari nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi, maka sungguh dia telah salah…” [ Majmu’ Fatawa : 2/401 ].
BACA JUGA: Tarawih Ekspres, Sah Tidak, ya?
■Kesimpulan :
[1]. Sholat malam termasuk di dalamnya sholat tarawih tidak memiliki batasan rekaat secara khusus.
[2]. Dibolehkan untuk sholat tarawih sebelas rekaat ( sudah termasuk witir tiga rekaat ) ataupun lebih seperti tiga belas rekaat, atau dua puluh rekaat, dan seterusnya. Bahkan menurut jumhur ulama’, sholat tarawih dua puluh rekaat dengan memperpendek bacaannya itu lebih utama.
[3]. Jumlah rekaat sholat tarawih yan paling afdhol menyesuaikan kondisi makmum atau masyarakat setempat. Bisa jadi di suatu tempat yang paling afdhol sebelas rekaat, akan tetapi di tempat lain bisa jadi yang lebih afdhol dua puluh rekaat.
[4]. Terkadang Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- meninggalkan melakukan suatu perbuatan, bukan karena perbuatan itu dilarang/haram. Akan tetapi karena ada suatu alasan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi saat itu. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani