SEBAGAIMANA telah dimaklumi bersama, bahwa Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berdzikir dengan menggunakan jari. Dan ini perkara yang afdhol (lebih utama). Diriwayatkan dari Abdullah bin Amer –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ»، قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ: بِيَمِينِهِ
“Aku pernah melihat Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menghitung kalimat SUBHANALLOH.” Ibnu Qudamah berkata: “dengan tangan kanannya.” [ HR. Abu Dawud : 1503 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Al-Albani –rohimahumallohu- ].
Yang dimaksud Ibnu Qudamah di sini, adalah syaikhnya ( gurunya ) Abu Dawud, namanya Muhammad. Hal ini dinyatakan oleh Al-Imam Al-Mubarokfuri dalam kitabnya “Tuhfadzul Ahwadzi” : ( 9/322 ).
Dalam jalur periwayatan lain, dijelaskan bahwa perkataan Abdullah bin Amer –rodhiallohu ‘anhu- : “menghitung kalimat SUBHANALLOH”, maksudnya: “dengan tangannya.” Riwayat ini dikeluarkan oleh Abul Hasan Al-Haitsami ( wafat : 807 H ) –rohimahullah-, dari Abdullah bin Amer –rodhiallohu ‘anhu- berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ بِيَدِه ِ
“Aku melihat Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam menghitung kalimat SUBNAHALLOH dengan tangannya.” [ Mawarid Adh-Dhom’an Ila Zawaid Ibnu Hibban : 7/340 dan sanadnya shohih ].
Al-Imam Al-Mubarokfuri –rohimahullah- berkata:
وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يُسَيْرَةَ الذي أشار إليه الترمذي بأن الأنامل مسؤولات مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنَ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى
“Di dalam hadits ini terdapat dalil akan disyari’atkannya menghitung kalimat SUBHANALLAH dengan ujung jari. Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah menerangkan sebab akan hal itu, di dalam hadits Yusairah, yang telah diisyaratkan oleh At-Tirmidzi, dimana sesungguhnya ruas-ruas jari akan ditanya dan akan berbicara. Artinya : sesungguhnya ia akan bersaksi terhadap hal itu. Dengan pertimbangan ini, menghitung kalimat SUBHANALLAH dengannya (ruas-ruas jari) lebih utama dibandingkan memakai biji tasbih atau kerikil.” [ Tuhfadzul Ahwadzi : 9/322 ].
Saya (Abdullah Al-Jirani) berkata : hadits Yusairah yang dimaksud oleh Al-Mubarokfuri –rohimahullah-, telah diriwayatkan oleh Abu Dawud : ( 1505 ) dan selainnya, beliau (Yusairah) berkata:
أنَّ النبي – صلَّى الله عليه وسلم – أمرَهُنَّ أن يُراعِينَ بالتكبيرِ والتقديسِ والتهليلِ، وأن يعْقِدْنَ بالأنامِلِ، فإنهنَّ مسؤولاتٌ مستنطقاتٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka (para wanita) agar menjaga takbir, pensucian Allah, serta tahlil, dan menghitung dzikir menggunakan ruas-ruas jari, karena ruas-ruas tersebut akan ditanya dan diminta untuk berbicara.” [ Hadits ini hasan –insya Alloh-. Lihat tahqiq Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth – rohimahullah – ].
BACA JUGA: Dzikir Penajam Takwa Penolak Maksiat
Adapun berdzikir dengan biji tasbih, maka boleh saja. hal ini berdasarkan kepada beberapa argument, diantaranya:
Pertama:
Kita sepakat, bahwa dzikir termasuk perkara ibadah. Akan tetapi, alat untuk menghitungnya, termasuk perkara duniawi. Seperti ruas-ruas jari yang dipakai oleh Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menghitung dzikir. Tidak akan ada yang berani untuk menyatakan, bahwa ruas-ruas jari adalah masalah ibadah.
Demikian pula biji tasbih. Ini hanyalah alat untuk menghitung dzikir-dzikir yang diucapkan oleh seseorang. Sama halnya dengan ruas-ruas jari. Jika biji tasbih hanyalah alat hitung dan termasuk perkara dunia, maka kita kembalikan hal ini kepada kaidah.
Para ulama’ telah menyatakan, bahwa asal perkara dunia itu adalah boleh, sampai ada dalil lain yang mengharamkannya. Mereka mengatakan:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يرد دليل آخر يدل على تحريمها
“Hukum asal segala sesuatu ( perkara dunia ) adalah boleh, sampai datang dali lain yang menunjukkan akan keharamannya.”
Barang siapa yang mengharamkannya, maka hendaknya dia mendatangkan dalil yang shohih dan shorih ( jelas ) yang memalingkannya dari hukum mubah ( boleh ). Kenapa orang yang dituntut untuk mendatangkan dalil bukan orang yang menetapkan bolehnya berdzikir dengan tasbih dan bukan orang yang mengharamkannya ? karena orang yang menetapkannya telah berada di atas kaidah. Sedangkan orang yang melarangnya telah berjalan keluar dari kaidah. Sehingga seorang yang keluar darinya yang dituntut untuk mendatangkan dalil.
Kedua:
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqosh –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى – أَوْ حَصًى – تُسَبِّحُ بِهِ، فَقَالَ: «أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا – أَوْ أَفْضَلُ -»، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ»
“Bahwa ia bersama Rasulullah shallla Allahu ‘alaihi wa sallam menemui seorang wanita sementara dihadapannya terdapat biji-bijian atau kerikil yang dipergunakan untuk bertasbih. Kemudian Nabi Shalla Allahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku akan memberitahukan kepadamu sesuatu yang lebih mudah bagimu dari pada ini dan lebih utama!” Lalu beliau mengucapkan: “SUBHAANALLAAHI ‘ADADA MAA KHALAQA FIS SAMAAI WA SUBHAANALLAAHI ‘ADADA MAA KHALAQA FIL ARDHI WA SUBHAANALLAAHI ‘ADADA MAA KHALAQA BAINA DZAALIKA WA SUBHAANALLAAHI ‘ADADA MAA HUWA KHAALIQUN, WALLAAHU AKBARU MITSLU DZAALIKA, WAL HAMDU LILLAAHI MITSLU DZAALIKA WA LAA ILAAHA ILLALLAAHU MITSLU DZAALIKA WA LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAHI MITSLU DZAALIKA” (Maha Suci Allah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan dilangit, dan Maha Suci Allah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan di bumi, dan Maha Suci Allah sebanyak makhluk yang Dia ciptakan diantara keduanya dan Maha Suci Allah sebanyak apa yang Dia ciptakan, dan Allah Maha Besar seperti itu, segala puji bagi Allah seperti itu, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah seperti itu, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali karena Allah seperti itu).” [ HR. Abu Dawud : 2/615 No : 1500 ].
Hadits di atas telah dihasankan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth –rohimahullah-. Beliau –rohimahullah- berkata:
حديث حسن لغيره , وهذا إسناده ضعيف لجهالة خزيمة. عمرو: هو ابن الحارث بن يعقوب الأنصاري.وأخرجه الترمذي (3884) من طريق أصبغ بن الفَرَج، عن عبد الله بن وهب، بهذا الإسناد. وقال: هذا حديث حسن غريب من حديث سعد، وحسنه الحافظ ابن حجر في “نتائج الأفكار” 1/ 76.وهو في”صحيح ابن حبان” (837).وله شاهد من حديث صفية بنت حُيي عند الترمذي (3870).وقال الحافظ: حديث حسن.ولأصله شاهد من حديت جويرية بنت الحارث عند مسلم (2726)، والترمذي (3871)، والنسائي في “الكبرى” (1277)
“Hadits ini hasan lighoirihi. Hadits ini sanadnya lemah karena Khuzaimah majhul. ‘Amer adalah ibnul Harits bin Ya’qub Al-Anshori. At-Tirmidzi telah mengeluarkannya ( dalam Sunan-nya ) no ( 3884 ) dari jalan Ashbagh bin Al-Faraj, dari Abdullah bin Wahb dengan sanad ini. Lalu beliau berkata : Ini hadits yang hasan gharib dari hadits Sa’ad. Telah dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Nataijul Afkar” ( 1/76 ) dan ia terdapat dalam “Shohih Ibnu Hibban” no ( 837 ). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Shofiyyah binti Huyai dalam “Sunan At-Tirmidzi ( 3870 ). Al-Hafidz berkata : Hadits hasan. Riwayat asalnya memiliki syahid dari hadits Juwairiyah binti Al-Harits diriwayatkan oleh Muslim ( 2726 ).” [ Sunan Abu Dawud : idem ].
Sisi pendalilan riwayat di atas, bahwa wanita tersebut berdzikir dengan memakai batu kerikil/biji tasbih dalam kondisi nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tahu akan hal itu. Namun nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarangnya. Jika memang hal itu bid’ah/haram, sungguh nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- akan melarangnya.
Yang dikritik oleh Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- hanya dari sisi bacaan dzikirnya saja. Maka nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- kemudian mengajari lafadz dzikir yang lebih baik kepada wanita tersebut. Adapun batu kerikil/biji tasbih yang dipakai olehnya tidak dikritik sama sekali oleh beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam-.
Oleh karenanya, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani –rohimahullah- menempatkan hadits di atas di dalam Bab:
باب التسبيح بالحصى
“Babut Tasbih Bil Hasho ( Bab Berdzikir Dengan Batu Kerikil ).” [ Sunan Abu Dawud : 2/615 ].
BACA JUGA: Bolehkah Berdzikir dengan Tangan Kiri?
Bab-bab dalam Sunan Abu Dawud, merupakan bentuk/realisasi fiqh pengarangnya terhadap hadits-hadits yang beliau sebutkan. Sehingga judul bab di atas, menunjukkan pemahaman beliau dan istimbath hukum beliau.
Perhatikan ! sekelas Imam besar, Abu Dawud As-Sijistani –rohimahullah- memahami bahwa hadits Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai dalil bolehnya untuk berdzikir dengan batu kerikil ( biji tasbih ). Akankah kita yang penuh dengan kebodohan ini akan menyelisihi beliau ?! Ini makna pertam dari hadits di atas.
Adapun makna kedua, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Imam Muhammad Al-Adzim Abadi –rohimahullah- ( wafat : 1329 H ) berkata :
وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ لِعَدَمِ الْفَارِقِ لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَةِ عَلَى ذَلِكَ وَعَدَمِ إِنْكَارِهِ وَالْإِرْشَادُ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَلُ لَا يُنَافِي الْجَوَازَ وَقَدْ وَرَدَتْ بِذَلِكَ آثَارٌ
“Dan hadits ini menjadi dalil akan bolehnya menghitung tasbih ( berdzikir ) dengan menggunakan biji/isi kurma dan batu kerikil. Demikian pula ( boleh untuk berdzikir ) dengan biji tasbih karena tidak ada perbedaan ( diantara keduanya ), dan karena taqrir ( persetujuan ) beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- kepada wanita tersebu atas hal itu ( berdzikir dengan biji kurma dan batu kerikil ) dan tidak ada penginkaran terhadapnya. Ditunjukkannya kepada sesuatu yang lebih utama, tidaklah meniadakan bolehnya hal itu. Telah datang berbagai atsar tentang hal itu.”[ ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud : 4/258 ].
Dari ucapan Al-Imam Muhammad Abadi –rohimahullah- di atas ada dua hal penting yang beliau jadikan dasar untuk mengeluarkan bolehnya berdzikir dengan tasbih:
[1]. Taqrir ( persetujuan/tidak ada pengingkaran) dari Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap hal itu. Ini sesuatu yang sangat kuat sekali. Kenapa ? karena kalau memang hal itu perkara yang munkar, atau haram, atau tasyabbuh dengan orang kafir, sangat tidak mungkin nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- akan membiarkannya. Mungkin dilarang dengan nada yang sangat keras. Misalnya : “Jangan berdzikir dengan tasbih !”, atau : “Tasbih termasuk tasyabbuh dengan orang kafir!”, atau yang semisalnya.Dan taqrir Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hujjah ( dalil ) dalam agama kita.
[2]. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- hanya menunjukkan kepada sesuatu yang lebih utama, tidak berarti sesuatu yang sebelumnya tidak boleh. ini suatu kaidah yang sangat berfaidah sekali untuk dipahami oleh penuntut ilmu.
Jika nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-mengarahkan wanita itu untuk mengucapkan dzikir yang beliau ajarkan, sebagai ganti dzikir dengan batu kerikilnya sebelum itu, bukan berarti dzikir wanita dengan batu kerikil sebelum itu tidak diperbolehkan. Karena ini hanya masalah afdholiyyah saja.
Sebagai contoh lain demikian : Ada seorang hendak berkurban kambing betina. Lalu saya mengarahkannya seraya mengucapkan : “Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang lebih afdhol ( lebih utama ) dari ini ?” Hendaknya kamu berkurban dengan kambing jatan.”
Berkurban dengan kambing jantan lebih utama, karena inilah yang dijadikan kurban oleh Nabi–shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi apakah berkurban dengan kambing betina tidak boleh/tidak sah ? jawab : Boleh saja dan tetap sah. Akan tetapi hanya kurang afdhol jika ada kambing jatan.
Ketiga:
Telah diriwayatkan beberapa atsar dari kalangan salaf yang mana mereka berdzikir dengan batu kerikil/biji tasbih, diantaranya :
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah ( wafat : 235 H ) –rohimahullah- beliau berkata:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ مَوْلَاةٍ لِسَعْدٍ، «أَنَّ سَعْدًا كَانَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَالنَّوَى»
“Yahya bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Hakim bin Ad-Dailami, dari Maulah Sa’ad : “Sesungguhnya Sa’ad berdzikir dengan batu kerikil dan biji kurma.” [ Al-Mushonnaf : 7658 ].
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Sa’ad ( wafat : 230 H ) beliau berkata :
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوسَى ، قَالَ : أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ ، عَنْ جَابِرٍ ، عَنِ امْرَأَةٍ حَدَّثَتْهُ ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُسَيْنٍ ، أَنَّهَا كَانَتْ تُسَبِّحُ بِخُيُوطٍ مَعْقُودٍ فِيهَا.
“’Ubaidullah bin Musa telah mengabarkan kepada kami, dia berkata : Isroil telah mengabarkan kepada kami, dari Jabir, dari seorang wanita yang menceritakannya dari Fathimah binti Husain : “Sesungguhnya beliau bertasbih ( berdzikir ) dengan benang-benang yang diikat di dalamnya.” [ Ath-Thabaqat Al-Kubro : 10/440 no : 11878 ].
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hambal –rohimahullah- beliau berkata :
حَدَّثَنَا مِسْكِينُ بْنُ بُكَيْرٍ، أَنْبَأَنَا ثَابِتُ بْنُ عَجْلَانَ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: كَانَ لِأَبِي الدَّرْدَاءِ نَوَى مِنْ نَوَى الْعَجْوَةِ حُسِبَتْ عَشْرًا أَوْ نَحْوَهَا فِي كِيسٍ وَكَانَ إِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ أَقْعَى عَلَى فِرَاشِهِ، فَأَخَذَ الْكِيسَ فَأَخْرَجَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدَةً يُسَبِّحُ بِهِنَّ فَإِذَا نَفَدْنَ أَعَادَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدَةً، كُلُّ ذَلِكَ يُسَبِّحُ بِهِنَّ قَالَ: حَتَّى تَأْتِيَهُ أُمُّ الدَّرْدَاءِ فَتَقُولَ: يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنَّ غَدَاءَكَ قَدْ حَضَرَ فَرُبَّمَا قَالَ: ارْفَعُوهُ فَإِنِّي صَائِمٌ “
“Miskin bin Bukair telah menceritakan kepada kami, dia berkata : Tsabit bin ‘Ajlan telah mengabarkan kepada kami, dari Al-Qosim bin Abdurrahman dia berkata : “Abu Darda’ memiliki biji kurma dari jenis kurma ‘Ajwah dihitung sepuluh atau semisalnya di suatu kantong. Apabila dia sholat shubuh, duduk bertinggung di atas tempat tidurnya. Lalu mengambil kantong ( berisi biji kurma tadi ) kemudian beliau mengeluarkannya satu-satu dalam kondisi beliau berdzikir dengannya. Jika sudah habis, beliau kembalikan satu-satu. Semuanya beliau gunakan untuk bertasbih. Dia ( Al-Qosim ) berkata : sehingga Ummu Darda’ datang seraya berkata : “Wahai Abu Darda’ ! sarapanmu telah siap.” Terkadang beliau berkata : “Angkat kembali ! aku puasa.” [ Az-Zuhd : 1/116 No : 758 sebagaimana dalam riwayat anaknya, Abdullah bin Ahmad ].
BACA JUGA: Cara Rasulullah Menghitung Dzikir
Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Huroiroh, Ali bin Abi Thalib, dan selainnya. Silahkan dibaca pada kitab “Ath-Thabaqot” karya Ibnu Sa’ad –rohimahullah- serta “Az-Zuhd” Ahmad bin Hambal –rohimahullah-.
Setelah mebawakan beberapa atsar ini, Al-Imam As-Suyuthi –rohimahullah- berkata:
ولم يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ وَلَا مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّونَهُ بِهَا وَلَا يَرَوْنَ ذَلِكَ مَكْرُوهًا
“Dan belum pernah dinukil dari seorangpun dari kalagan salaf ( ulama’ terdahulu ) dan tidak juga dari khalaf ( ulama’ belakangan )adanya larangan dari bolehnya menghitung dzikir dengan biji tasbih. Bahkan mayoritas mereka menghitungnya dengan biji tasbih dan tidak memandang makruh akan hal itu.”[ Al-Hawi karya As-Suyuthi : 2/6 ].
Keempat:
Sejauh pengetahuan kami, madzhab yang empat, yaitu Hanifiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah sepakat membolehkan berdzikir dengan tasbih. Mereka hanya berbeda pendapat dalam makna boleh di sini. Apakah makruh, atau khilaful aula ( menyelisihi sesuatu yang lebih utama ), atau memang boleh secara mutlak. Karena ketiganya masih masuk dalam makna boleh. [BERSAMBUNG]
Facebook: Abdullah Al Jirani