SEJAUH pengetahuan kami, madzhab yang empat, yaitu Hanifiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah sepakat membolehkan berdzikir dengan tasbih. Mereka hanya berbeda pendapat dalam makna boleh di sini. Apakah makruh, atau khilaful aula ( menyelisihi sesuatu yang lebih utama ), atau memang boleh secara mutlak. Karena ketiganya masih masuk dalam makna boleh.
Hal ini kami dapatkan dari ucapan Asy-Syaikh Abdul Fattah bin Sholih Qudais –hafidzohullah- dimana beliau mengatakan:
اتفقت المذاهب الأربعة على جواز اتخاذ السبحة والذكر بها
“Madzhab yang empat sepakat, akan bolehnya menggunakan biji tasbih dan berdzikir dengannya.” [ Hukmu Ittikhadzis Subhah : 1 ].
Baru setelah itu beliau menyebutkan perbedaan mereka dalam makna “boleh” sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Jika memang demikian, lantas bagaimana orang-orang di zaman ini menyatakan bahwa biji tasbih adalah bid’ah atau tasyabbuh dengan orang-orang kafir ? Siapakah kita dan siapakah mereka para imam salaf ? Pantaskah kita mengeluarkan suatu hukum yang sampai-sampai menentang mereka hanya bermodalkan kebodohan dan segala keterbatasan ilmu kita?
Kelima:
Di sini akan kami bawakan ucapan para ulama’ salaf dan khalaf yang menunjukkan akan bolehnya berdzikir dengan biji tasbih. Kami sengaja memilih nama-nama mereka yang masyhur dan biasa dijadikan rujukan oleh kita sekalian. Suapaya lebih bisa diterima dan tidak dianggap sepihak. Diantara ucapan mereka :
Al-Imam Asy-Syaukani –rohimahullah- berkata:
هَذَانِ الْحَدِيثَانِ يَدُلَّانِ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ
“Dua hadits ini menunjukkan, akan bolehnya untuk menghitung tasbih ( ucapan Subhanallah/dzikir secara umum ) dengan biji kurma dan batu kerikil demikian pula biji tasbih.” [ Nailul Author : 2/211 ].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahullah- berkata:
وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: {سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ} . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ.
“Menghitung tasbih ( dzikir ) dengan jari-jari adalah sunnah sebagaimana beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda kepada para wanita : “Bertasbilah dan hitunglah dengan jari-jari kalian. Sesungguhnya jari-jari itu akan ditanya dan akan diminta berbicara ( oleh Alloh nanti di hari kiamat ).” Adapun menghitung dengan biji kurma, batu kerikil dan semisalnya, maka ini perkara yang baik. Dan ada sebagian para sahabatyang mengamalkan hal itu. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melihat Ummul Mu’minin berdzikir dengan batu kerikil dan beliau mentaqrir ( tidak melarang )nya. Diriwayatkan pula dari Abu Huroiroh beliau juga berdzikir dengannya.” [ Majmu’ Fatawa : 22/506 ].
BACA JUGA: Engkau Sakit Jiwa karena Jauh dari Dzikir pada Allah
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami ( wafat : 974 H ) –rohimahullah- berkata:
عَقْدُ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ أَفْضَلُ مِنْ السُّبْحَةِ لِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ. وَفَصَّلَ بَعْضُهُمْ فَقَالَ: إنْ أَمِنَ الْمُسَبِّحُ الْغَلَطَ كَانَ عَقْدُهُ بِالْأَنَامِلِ أَفْضَلَ وَإِلَّا فَالسُّبْحَةُ أَفْضَلُ؟
“Menghitung tasbih ( dzikir ) dengan ruas jari lebih utama dari biji tasbih berdasarkan hadits Ibnu Umar. Sebagian ulama’ memerinci seraya berkata: Jika orang yang berdzikir aman dari kesalahan, maka menghitungnya dengan jari lebih utama. Jika tidak maka dengan biji tasbih lebih utama.” [ Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro : 1/152 dikumpulkan oleh murid beliau yang bernama Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Fakihi Al-Makki ( wafat : 982 H ) ].
Al-Imam Ibnu Nujaim –rohimahullah- berkata:
لا بأس باتخاذ السبحة المعروفة لإحصاء عدد الأذكار…فلا جرم أن نقل اتخاذها والعمل بها عن جماعة من الصوفية الأخيار وغيرهم
“Tidak mengapa untuk menggunakan biji tasbih yang telah dikenal untuk menghitung bilangan dzikir-dzikir……dan tidak masalah ( walaupun ) penukilan penggunaan dan pengamalannya dari sekelompok orang shufi yang baik dan selain mereka.” [ Al-Bahru Ar-Roiq : 2/31 ].
Al-Imam Ibnu Hajar –rohimahullah- berkata:
ويستفاد من الأمر بالعقد المذكور في الحديث ندب اتخاذ السبحة، وزَعْمُ أنها بدعة غير صحيح
“Diambil faidah dari perintah dengan persetujuan yang telah disebutkan di dalam hadits akan anjuran untuk mengambil/menggunakan biji tasbih. Dan prasangka sesungguhnya hal itu bid’ah tidaklah benar.” [ Syarh Ibnu ‘Alan ‘Ala Adzkar An-Nawawi : 1/152 ].
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rohimahullah- beserta Lajnah Daimah berkata:
استخدام السبحة من الأمور العادية، والأصل فيها الجواز، ولا نعلم دليلا يدل على منعها
“menggunakan biji tasbih ( untuk berdzikir ) termasuk perkara adat. Hukum asalnya adalah boleh. Kami tidak mengetahui adanya dalil yang melarangnya.” [ Fatawa Lajnah Daimah: 24/206 No fatwa : 4300 ].
Beliau –rohimahullah- juga berkata:
عد التسبيح بالسبحة جائز؛ لأنه لا دليل على منعه، ولا فرق بين ما بعد الصلاة وغيره، والعد بالأصابع أفضل؛ اقتداء
“Menghitung tasbih ( dzikir ) dengan biji tasbih hukumnya boleh. Karena tidak ada dalil yang melarangnya. Tidak ada perbedaan antara setelah sholat atau selainnya. Akan tetapi menghitung dengan jari lebih utama dalam rangka nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-. [ Fatwa Lajnah Daimah : 24/270 No : 17880 ].
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rohamullah- berkata:
السبحة ليست بدعة دينية، وذلك لأن الإنسان لا يقصد التعبد لله بها، وإنما يقصد ضبط عدد التسبيح الذي يقوله، أو التهليل، أو التحميد، أو التكبير، فهي وسيلة وليس مقصودة، ولكن الأفضل منها أن يعقد الإنسان التسبيح بأنامله – أي بأصابعه
“Biji tasbih, bukan termasuk bid’ah dalam agama. Karena seorang insan tidak memaksudkan untuk beribadah keapda Alloh dengannya. Akan tetapi hanya dimaksudkan untuk memastikan hitungan tasbih, atau tahlil, atau tahmid, atau takbir yang dia ucapkan. Itu hanyalah sebagai wasilah ( perantara ) saja dan bukan tujuan. Akan tetapi yang lebih utama darinya, seorang menghitung dzikir dengan jari tangan.” [ Majmu’ Fatawa : 13/240 ].
Demikianlah sebagian pendapat dan fatwa para ulama’ dakwah dari kalangan salaf ataupun mu’ashirin. Sementara kami cukupkan dengan apa yang telah kami nukilkan.
Adapun pihak yang melarang penggunanan biji tasbih terbagai menjadi dua pendapat:
Pertama:
Menyatakan sebagai perkara bid’ah dengan alasan tidak ada contohnya dari nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-.
Tanggapan:
Biji tasbih itu perkara dunia/adat saja, bukan perkara ibadah. Memang benar bahwa dzikir itu ibadah, akan tetapi alat dzikirnya, berupa biji tasbih adalah masalah dunia. Jika masalah dunia, maka tidak perlu contoh dari nabi. Lain halnya jika masalah ibadah. Itu harus ada contohnya dari nabi.
Sifat perkara dunia itu berkembang. Jika setiap perkara dunia harus ada contohnya, maka akan ada banyak perkara yang tidak ada contoh dan dalilnya dari nabi. Pendapat yang menyatakan bid’ahnya tasbih merupakan salah satu pendapat yang paling aneh yang pernah kami dapatkan. Simak kembali argument pertama di atas.
Kedua:
Ada yang menyatakan bahwa berdzikir dengan tasbih tasyabbuh dengan orang kafir ( orang budha atau hindu ).
Tanggapan:
Pendapat tidak kalah aneh dengan yang sebelumnya. Jika ada suatu perkara yang hukum asalnya mubah ( boleh ), kemudian diamalankan oleh orang kafir, tidaklah hal itu akan merubah hukum yang asalnya mubah menjadi haram/dilarang untuk dilakukan orang Islam.
Sebagai contoh: Baju jas hukum asalnya boleh. Kalau orang-orang kafir memakainya, tidaklah hal ini merubah hukum jas yang boleh menjadi dilarang atau haram jika orang Islam memakainya.
Jika ada dukun/paranormal pakai jubah, sarung, peci, bahkan sorban, tidaklah menjadikan pakaian-pakaian ini haram untuk kita pakai dengan alasan tasyabbuh (meniru mereka). Adakah para ulama’ kita yang melarangnya dengan alasan seperti itu? Tidak!
Tasyabbuh ( meniru orang kafir ) yang dilarang itu dalam dalam perkara-perkara yang menjadi ciri khas agama mereka yang itu tidak ada pada agama kita. Adapun dalam masalah yang bukan masuk ciri khas agama mereka, maka tidak masalah. Atau dalam masalah yang di dalam agama kita dibolehkan, juga tidak masalah. Walaupun terkadang hal itu dilakukan atau diamalkan oleh orang-orang kafir.
BACA JUGA: Akhlak Itu Kebiasaan, Bisa Dilatih dengan Berdzikir
Kalau kita puasa, atau sholat, misalkan. Apakah kita dikatakan tasyabbuh dengan orang-orang kafir gara-gara mereka ( Yahudi dan Nashrani ) melakukan puasa dan sholat ( ala mereka ) ?? tentu jawabnya tidak. Nantikan tulisan kami dalam makna tasyabbuh dan hukum seputar masalah ini -insya Alloh-.
Demikian tanggapan singkap untuk dua pendapat aneh di atas. Tidak perlu kami perpanjang karena tidak ada bobot ilmiyyahnya sama sekali.
Sebenarnya masalah bolehnya berdzikir dengan tasbih merupakan perkara yang sangat jelas dan gamblang bak Matahari di siang bolong. Sehingga sebenarnya kami tidak punya rencara untuk menulis dalam masalah ini. Akan tetapi adanya fenomena yang sangat memprihatinkan di kalangan sebagian komunitas ‘salafy’ yang sedemikian ekstrem, maka kami akhirnya tergugah untuk menulisnya.
Diantara golongan ( oknum ) ‘salafy’ ekstrem itu, ada yang mengatakan bid’ah, ada yang berpendapat tasyabbuh dengan orang kafir, bahkan sebagian mereka menvonis orang yang berdzikir dengan tasbih sebagai ahli bid’ah. Tidak hanya orang awamnya yang seperti ini, bahkan sebagian ustadznya juga demikian. Wallohul musta’an. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi pencerahan dalam masalah ini.
Catatan:
Ada yang berpendapat bahwa biji tasbih itu terlarang, berdalil apa yang diriwayatkan dari Amer bin Yahya dari bapaknya dari kakeknya ia berkata :
كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَبْلَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا: لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ – وَالْحَمْدُ لِلَّهِ – إِلَّا خَيْرًا قَالَ: فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ: إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ: رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوسًا يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ، وَفِي أَيْدِيهِمْ حصًا، فَيَقُولُ: كَبِّرُوا مِائَةً، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً، فَيَقُولُ: هَلِّلُوا مِائَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً، وَيَقُولُ: سَبِّحُوا مِائَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً، قَالَ: فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ: مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتظارَ أَمْرِكَ. قَالَ: «أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ»، ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: «مَا هَذَا الَّذِي أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟» قَالُوا: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حصًا نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ: «فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ». قَالُوا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ: «وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ» قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ “، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ: رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ
“Aku mendengar ayahku menceritakan dari ayahnya, ia berkata: ‘Dahulu kami pernah duduk di depan pintu Abdullah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu sebelum shalat subuh, ketika ia keluar kami berjalan bersamanya menuju masjid. Kemudian Abu Musa Al ‘Asy’ari radliallahu ‘anhu datang menemui kami dan bertanya: ‘Apakah Abu Abdur Rahman telah datang menemui kalian? ‘, kami menjawab: ‘belum’, lalu beliau duduk bersama kami hingga (Abu Abdur Rahman) datang. Tatkala ia datang, kami semua berdiri dan menghampirinya, Abu Musa berkata kepadanya: ‘Wahai Abu Abdur Rahman, baru saja di masjid aku melihat satu kejadian baru yang tidak aku sukai. Setahuku, Alhamdulillah, sekali pun itu diniyati kebaikan. Ia bertanya: ‘apakah itu gerangan? ‘, ‘Jika kamu masih hidup kamu akan melihatnya’, Kata Abu Musa. Abu Musa melanjutkan: ‘Aku melihat di masjid, sekelompok orang yang (duduk) melingkar sambil menunggu shalat, setiap lingkaran ada seorang (pemandu) nya dan tangan-tangan mereka membawa kerikil, lalu si (pemandu) berkata: ‘ucapkanlah takbir seratus kali’ dan mereka bertakbir seratus kali, ‘dan ucapkanlah tahlil seratus kali’ lalu mereka bertahlil seratus kali, ‘dan ucapkanlah tasbih seratus kali’ lalu mereka mengucapkan tasbih seratus kali. Abu Abdurrahman bertanya: ‘Lantas apa yang telah kau katakan kepada mereka? ‘ Abu Musa menjawab: ‘Aku belum berkata apa pun kepada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau perintahmu’. Abu Abdurrahman berkata: ‘Tidak sebaiknyakah kamu perintahkan saja mereka untuk menghitung dosa-dosa mereka, serta kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan hilang?. Kemudian Abu Abdurrahman beranjak dan kami pun beranjak bersamanya, hingga ia sampai di lokasi jama’ah dzikir yang diceritakannya. Ia berdiri di hadapan mereka, dan berkata: ‘Apa yang sedang kalian lakukan? ‘, mereka menjawab: ‘Wahai Abu Abdur Rahman, ini adalah batu-batu kerikil untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih’. Ia berkata: ‘Hendaklah kalian menghitung dosa-dosa kalian (saja), aku menjamin amal kebaikan kalian tidak akan hilang, celakalah kalian umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, alangkah cepatnya masa kehancuran kalian, padahal mereka para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih banyak, dan baju mereka belum basah, juga periuknya belum pecah, demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman tangannya, sesungguhnya kalian seakan-akan memiliki agama yang lebih baik dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, atau kalian sengaja hendak membuka pintu kesesatan?, mereka menjawab: ‘Demi Allah wahai Abu Abdur rahman kami tidak menginginkan kecuali kebaikan’. Abu Abdurrahman menjawab: ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi ia tidak dapat mencapainya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami bahwa ada satu kaum yang membaca Al Qur`an namun tidak melampaui tenggorokan mereka, demi Allah, aku tidak tahu siapa tahu mayoritas mereka adalah dari kalian”, Abu Abdurrahman lantas berpaling dari mereka. ‘Amr bin Salamah berkata: ‘Kami melihat kebanyakan dari yang berada di kelompok jama’ah dzikir tersebut dihari selanjutnya mencaci-maki kami pada hari (perang) Nahrawan bersama orang-orang khawarij ‘ “[ Sunan Ad-Darimi : 1/287 dan sanadnya hasan ].
BACA JUGA: Dzikir Ini Bisa Hapus Seribu Dosa
Jawab:
Apa yang diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud bkanlahlah biji tasbihnya atau batu kerikilnya. Akan tetapi bentuk ibadah dzikir yang mereka lakukan secara berjama’ah dengan dipimpin oleh satu orang dengan memerintahkan untuk membaca bacaan-bacaan tertentu dengan jumlah tertentu. Ini yang diingkari. Seandainya yang diingkari biji tasbihnya, tentu Abdullah bin Ma’sud akan larang melarangnya dengan jelas. Hal ini berdasarkan ucapan beliau : “Hendaklah kalian menghitung dosa-dosa kalian (saja).” Di sini, beliau tetap memerintahkan menghitung, namun yag dihitung dosa-dosa mereka. Bukan menghitung dzikir dengan tata cara yang mereka lakukan. Wallohu a’lam bish showab.
Kesimpulan:
Yang paling afdhol ( paling utama ) berdzikir dengan menggunakan jari. Adapun berdzikir dengan menggunakan alat, seperti tasbih baik manual atau digital, atau yang semisalnya adalah boleh. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani