Oleh: Iis Nuryati
iisnuryati93@gmail.com
STEMPEL “telatan” telah lama menempel pada orang Indonesia. Seakan sudah menjadi tradisi, jika ada orang berjanji bertemu jam sepuluh, maka itu bisa berarti jam sepuluh lebih sepuluh, lebih tiga puluh, atau bahkan lebih satu jam.
Karena kebiasaan telatan ini telah “merakyat” di kalangan masyarakat Indonesia,akhirnya hal ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Budaya terlambat atau orang yang telatan sering dimaklumi dan yang tepat waktu justru menjadi korban.
Budaya tepat waktu masih merupakan sesuatu yang dipaksakan bagi kita, belum menjadi kebiasaan.
Budaya Terlambat, Mulai dari Murid sampai Pekerja
Murid yang terjadwal masuk jam tujuh, setiap hari selalu datang tepat waktu bahkan sebelum waktunya.
BACA JUGA: Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar
Pegawai yang bekerja di perusahaan yang menerapkan check lock dan memotong gaji karyawan karena keterlambatan, pasti lebih disiplin dibanding pegawai di perusahaan yang tidak menerapkan peraturan yang sama. Mengapa? Karena mereka terikat oleh peraturan.
Terlambat atau tidak bukan masalah rumah jauh dari lokasi yang dituju, karena mereka yang rumahnya dekat pun ada yang sering terlambat.
Terlambat juga bukan karena sibuk atau longgar, karena orang yang longgar kadang malah santai terhadap waktu. Terlambat adalah sikap mental. Tidak peduli jauh atau dekat, sibuk atau longgar, orang yang memiliki sikap mental disiplin akan menghormati waktu.
Budaya Terlambat, Tanggung Jawab
Sering terlambat menunjukkan tidak adanya karakter disiplin dan tanggung jawab pada diri seseorang. Selain itu, juga menunjukkan rendahnya kepedulian terhadap hak orang lain. Ia hanya mementingkan kepentingannya sendiri dan meminta pihak lain menerima keadaannya. Akan tetapi, pernahkah kita berfikir bahwa masalah telatan tidak hanya berhenti di situ. Dampak yang ditimbulkan bisa meluas.
Masalah telatan adalah bagian tak terpisahkan dari kesalehan seseorang. Orang bisa saja saleh secara pribadi dengan rajin ibadah tetapi ketika dia sering telat maka kesalehannya secara sosial harus diperbaiki.
Kewajibannya terhadap hak orang lain atas waktunya tidak dipenuhi dengan baik. Bukankah ini sama dengan ia berlaku dlolim?
Budaya Terlambat, Penyakit Hati
Mari kita cermati kasus keterlambatan yang sering kita temui. Seorang teman yang terlambat datang ketika akan pergi bersama temannya kemungkinan besar akan membuat temannya kesal.
Dari sini, keterlambatan bisa menumbuhkan penyakit hati dan merusak persahabatan. Mungkin ada yang mengatakan, “temanku sering terlambat tapi persahabatan kami baik-baik saja.” Ia baik-baik saja, luarnya.
Karena ketika kita santai saja terhadap kebiasaan buruk ini, artinya kita sudah kehilangan sensitivitas terhadap kebenaran. Waspadalah, suatu ketika teman yang tidak telatan bisa ketularan telatan. Itulah yang dinamakan racun.
Pegawai yang sering datang terlambat sebenarnya ia telah mendlolimi perusahaannya. Berapa banyak pekerjaan yang bisa dilakukan jika si pegawai datang tepat waktu. Lalu bagaimana dengan gaji yang dia dapatkan? Apakah itu tidak berarti dia menerima lebih dari yang seharusnya dia terima?
Budaya Terlambat, Dholim pada Orang Lain
Seharusnya kita mulai berpikir tentang halalnya pendapatan bukan semata dari jenis pekerjaannya tetapi juga dari bagaimana kita melakukan pekerjaan tersebut dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan.
Guru yang terlambat masuk kelas, ia telah mengurangi hak belajar muridnya. Pernahkah para guru menghitung, jika satu hari ia terlambat masuk kelas sepuluh menit, berapa menit ia menghilangkan jatah waktu anak untuk belajar dalam satu bulan? Berapa banyak materi yang seharusnya bisa tersampaikan akhirnya tidak tertunaikan?
Kita harus takut, jangan-jangan karena kita sering membuat orang lain lama menunggu, maka Allah pun akan membuat kita lama menunggu sesuatu yang kita harapkan? Kita harus waspada, karena kita sering mengurangi hak orang lain maka Allah pun akan mengurangi hak kita?
BACA JUGA: Sering Terlambat Shalat Berjamaah
Budaya Terlambat, Muslim Tepat Waktu
Pernahkah kita merenung, seberapa banyak pihak yang telah kita buat kesal karena sikap telatan kita lalu Allah pun menjadi “kesal” dengan kita? Na’udzubillahi min dzalik.
Salah satu ciri pribadi muslim yang ideal adalah peduli terhadap waktu. Ia akan menggunakan waktu sesuai alokasinya. Ia akan menghitung dengan teliti, kapan ia harus bersiap dan kapan harus berangkat.
Sesekali datang terlambat karena kendala atau urusan tak terduga lainnya, sangat bisa dimaklumi. Akan tetapi menjadikan telatan sebagai stempel bagi kita adalah sesuatu yang harus sangat kita hindari. []