Oleh: Yusuf Maulana
UMUR lelaki itu sudah di angka empat. Pegiat di sebuah jejaring lembaga zakat itu memilih membujang ketimbang memenuhi tawaran demi tawaran koleganya di kantor. Semua rekannya kini hanya bisa menyindir dan menggoda lantaran sudah berputus asa menawarkan kepada lelaki itu.
Harapannya, ia bisa merenung atas usia produktifnya yang mungkin tidak akan lama lagi bersama lembaga itu.
Lelaki itu bukannya tidak bisa mencintai wanita. Justru karena cintanya pada wanita, ia begitu setia. Sayang, kesetiaannya pada bayangan masa lalu. Kepada wanita di Jawa yang amat disukainya dan nyaris dinikahinya, tapi tiba-tiba sang wanita menikah dengan lelaki lain.
Urusan ini bertambah runyam bukan karena soal cintanya kandas, melainkan di kemudian hari ia tampaknya tidak mudah melupakan wanita yang pernah disukainya itu.
Wanita demi wanita yang tidak kalah atau bahkan melebihi kapasitas si wanita Jawa itu sudah ditawarkan oleh beberapa rekannya. Sayang, semua itu tidak menghapuskan kenangan laman. Beginikah yang namanya cinta ‘abadi’ pada lelaki romantis?
Teman saya yang lain, seorang dokter gigi, bisa dibilang sudah mapan secara materi. Ponselnya tiap bulan dengan mudah berganti-ganti. Saya tidak tahu apakah selera berganti ponsel anyar dan canggih itu kompensasi dari kesendiriannya.
Ya, di dekat angka empat umurnya ia juga menyendiri. Sendiri entah karena cintanya belum ada pelabuhan untuk menambat ataukah karena alasan apa. Yang jelas, beberapa dari teman kami sudah menawarkan kepadanya. Sang dokter gigi bergeming. Dia memilih sendiri.
Cintanya pada teman kecilnya berujung kandas. Sama-sama berkuliah di kampus dan fakultas yang sama sering membuat orang memprediksi mereka bakal berjodoh. Sebuah asa yang setahu saya diimpikan teman ini.
Sayang, sebelum lulus jadi dokter gigi, teman perempuannya dinikahi seorang perwira polisi pilihan orangtuanya. Kejadian 12 tahun lalu itu rupanya belum pudar dari ingatan teman saya.
Saya tahu, kriteria teman kecilnya itu ideal; rupawan, pintar, baik hati, salehah, keluarga terpandang, selain juga satu kecamatan berbeda blok saja. Klop untuk merekatkan dua keluarga di kemudian hari. Sayang kandasnya impian itu tidak hendak diganjar dengan membangun impian baru. Dengan pelabuhan berbeda. Ia memilih sibuk di meja kerja, olahraga, dan menyimak info ponsel. Inikah kesetiaan dari para lelaki pencinta; lelaki yang begitu menghargai makna cinta sejati?
Sejujur pengakuan salah seorang kerabat saya. Meski sudah melewati angkat empat usianya, ia masih mengaku belum pingin berjodoh. Tawaran dari keluarga sering ditepisnya dengan banyak alasan. Sama seperti dua insan di atas, kerabat saya ini juga selalu ada alasan untuk sendiri.
Tidak ada uanglah, atau apalah, padahal pengeluarannya bisa disebut boros. Tapi kerabat ini dengan terbuka pernah berkata jujur pada saya. Ia pernah mencintai teman SMA-nya dulu, sayang berakhir kandas. Sang teman kadung diambil orang lain. sebuah bayangan yang kemudian hari amat sukar ditepis.
Tiga nama di atas, atas nama cinta, atas nama kesetiaan, rela merawat mimpi. Konon ini biasanya begitu lelaki yang kandas di mimpi. Mimpi yang nyaris ‘diraih’ di masa lalu tapi terus dikelola hingga kini. Mimpi yang sayangnya absurd dan lebih sebagai bayangan ketersalahan. Atas nama cinta, biarkan mereka terus mencari cinta pengganti. Semestinya, mereka paham, teramat banyak cinta pengganti itu lebih baik dari impian ideal pada dia yang pernah mengisi relung hati kita di hari lalu. []