SUATU malam ada inbox masuk dari salah satu kawan saya. Isinya kurang lebih seperti ini. “Bu saya mengajar di sebuah lembaga (bukan sekolah), ada anak kelas enam yang sangat emosional dan tidak mampu mengontrol gerakan (mendorong dan lain lain).
Suatu hari anak ini disidang oleh gurunya dan anak ini disalahkan, dia harus menghadap kepala sekolah, lalu tiba-tiba dia tantrum langsung berlari pulang ke rumahnya.
Saat itu pagar lupa dikunci. Dia kabur karena suatu hari pernah diancam oleh kepala sekolah jika melakukan kesalahan akan dipanggil lima orang temannya untuk memukuli dia. Saya bingung tak berdaya. Apakah bu Wid ada ide?.”
Saya balas dengan icon emotion menangis. Saya balas “Mohon maaf saya tak punya ide.” Saya hanya berbagi pengalaman, bagaimana hari ini saya pontang panting mengurusi dan mengantar anak yang mengalami gangguan pada otak untuk berobat. Kisah ini saya ceritakan pada beliau agar kita semua bisa mengambil pelajaran.
Menurut David Coleman (2007), “Jika anak-anak tidak memiliki pemahaman akan perasaan mereka, atau tidak memiliki kata-kata dan bahasa untuk mengekspresikan perasaan mereka maka kemungkinan besar mereka akan mengungkapkan perasaan itu melalui perilaku mereka. Mereka akan menampilkan kepada kita seperti ketika mereka marah maka mengamuk, saat kesal mereka merengek, saat frustasi mereka menjadi agresif”.
Biasanya anak usia dua tahun yang jika menginginkan sesuatu dia menangis, merengek bahkan jika orangtuanya tidak kunjung mengerti apa yang dia maksudkan maka dia akan menjadi lebih agresif.
Hal ini terjadi karena anak di usia ini belum mampu mengekspresikan ide, gagasan juga perasaannya secara artikulatif dengan kalimat lengkap dan bahasa yang jelas. Idealnya untuk anak usia 12 tahun, mereka mampu menggunakan bahasa lisan bahkan dengan kalimat sangat lengkap untuk mengungkapkan ide, gagasan dan perasaannya itu.
Oleh sebab itu, para orangtua hendaknya memulai lebih awal untuk mendidik anak-anak kita bahwa mengekspresikan ide, gagasan dan perasaan itu melalui membicarakannya, bukan dengan berperilaku buruk.
Nah, untuk hal ini maka para guru juga orangtua harus terus belajar bagaimana berkomunikasi dengan anak agar kelak mereka mengekpresikan kemarahannya, kesedihannya, kebahagiannya, juga ide-idenya dengan cara yang benar. Perhatikan cara kita (orang dewasa) saat berkomunikasi dengan anak baik secara verbal maupun non verbal. Jadilah pendengar yang baik, terima dulu apapun yang anak tampilkan.
Jangan anggap sepele tampilan anak, ini bukan masalah biasa. Jika kita lengah sekarang, lalai hari ini, maka akan muncul masalah yang lebih besar di kemudian hari. Sesungguhnya apa pun masalah yang terjadi pada anak, ini adalah akibat kesalahan kita orang dewasa di sekitarnya yang banyak khilaf saat mengasuh dan mendidiknya.[]