Oleh: Daud Farma
SORE yang indah! Ratusan orang berjalan di atas batako Muizz Street. Setiap sore tidak pernah sepi. Datang, pergi silih berganti. Mulai dari usia balita hingga usia senja, ikut melintas di atas Muizz Street. Adik mengajak kakak, saudara kandung mengajak saudara tiri, yang dewasa mengajak remaja, yang muda menuntun yang tua, bapak mengajak anak, yang sudah berpasangan bergandengan tangan, semua jenis usia ada di sini tak terkecuali aku, juga ikut dibawa langkahku sendiri.
Anak-anak kecil berlarian sana-kemari, melompat, menari, sembari mengepal erat permen susu berwarna merah muda. Yang lanjut usia duduk berdampingan menikmati bangunan-bangunan tua yang berdebu, namun bila diabadikan dengan kamera akan memesona bak dinding masjid Qordoba.
Kaum muda-mudi duduk manis bercengkrama. Tak banyak yang mendengar mereka membahas apa? Sebab Muizz Street terlalu bising untuk menguping obrolan cinta yang tak syarat makna dan manfaatnya.
Sekitar lima meter jaraknya dari lingkaran depan masjid, ada toko perhiasan. Sepasang lanjut usia tengah memilih cincin permata. Setelah lebih tiga kali dicoba, akhirnya pas dengan jari manis istrinya yang sudah keriput. Kemudian suaminya pun membayar dan mereka keluar dari toko itu lalau duduk manis di bangku duduk yang terbuat dari semen, mereka duduk tepat di samping sepasang muda-mudi yang sedang asyik mengobrol sejak tadi, mereka tak menyadari pasangan tua itu adalah masa depan mereka sendiri. Pasangan tua itu begitu ramah, damai, bahagia.
Seorang fotografer pun datang mendekat, tak banyak ia merayu. Sang kakek itu segera saja menyuruhnya untuk mengabadikan sisa-sisa umurnya menikmati senja di Muizz Street ini. Sempat empat kali fotografer menunjukkan ulang hasil potretannya, dan gambar terakhir pun ia pilih sembari memasang senyum dengan kulit pipinya yang berlipat dua.
Setelah pasangan tua tadi, Si Fotografer pun mendekat ke pasangan yang muda. Mereka gengsi, mereka lebih memilih kamera handphone pribadi, tidak mau membayar mahal. Tapi fotografer tidak putus asa, ia print ulang photo pasangan tua tadi kemudian ia berikan pada mereka, lantas ia pun menjauh. Pasangan muda itu menatap heran, tetapi tak mengejar untuk mengembalikannya, juga tidak memberikan gambar itu pada dua wajah yang sedang duduk di samping mereka. Kekasih perempuannya memasukkan foto itu ke dalam tas kecilnya, ia menyimpannya untuk masa mendatang.
Datang pula seorang pelukis, kemudian duduk manis di depan pasangan tua itu. Tanpa ia tawarkan seharga berapa pun, tanpa rayuan dengan sepatah kata pun, ia memulai melukis dua pasangan lanjut usia yang sedang menikmati senja. Tak lama kemudian lukisannya jadi, lalu ia tunjukkan pada kakek-nenek itu, seketika mereka takjub, bukan main eloknya lukisan itu! Seakan mereka melihat diri mereka di dalam sebuah cermin sihir.
Tak lama berpikir, nenek itu pun segera mengambil dua lembar uang senilai 200 L.E dari dalam tasnya dan memberikannya pada pelukis, bukan main senangnya pelukis itu, ia pun mohon izin, tidak melukis pasangan muda di sebelahnya lagi. Karena dia tahu pasangan muda itu tidak tergoda untuk dilukis, mereka lebih tertarik dengan gambar digital.
Lima menit kemudian, lewatlah penjual es krim, seketika anak-anak yang sedang berlari sana-kemari datang mendekati kedua orangtua mereka, meringik, menggoyangkan badan, memasang wajah bak menangis, meminta dibelikan es krim. Mendekatlah kedua orangtua mereka anak dan memesan es krim dengan rasa serta warna yang berbeda-beda.
Namun tidak semua anak dapat dipenuhi permintaannya oleh kedua orangtuanya, di sana, tak jauh dari penjual es krim, di sebelah kanan tembok kelabu bangunan kuno, berhadapan dengan bangunan masjid, di atas Muizz Street Cairo, seorang anak masih meringik, memukuli ibunya, menarik-narik pakaian ibunya, meminta dibelikan es krim, lama dan berkali-kali ia meminta, tetapi sang ibu tak dapat memenuhi keinginannya.
Setelah para ibu-ibu itu membelikan anak-anaknya es krim, berkumpul lah mereka kembali di tempat semula. Anak-anak itu kembali bermain. Tiba-tiba seorang anak laki-laki menyadari ada seorang yang tak lengkap bersama mereka. Lama ia melirik ke sekitarnya, kemudian matanya menemukan temannya yang tengah menangis di pojok sana.
Mendekatlah seorang nenek yang wajahnya telah dilukis oleh pelukis tadi, lalu memberikan sebuah es krim ke anak laki itu, kemdudian ia mendatangi teman yang sedang menangis dan memberikan es krim yang belum disentuh oleh bibirnya. Seketika anak perempuan kecil cantik nan imut itu pun berhenti menangis dan kembali bermain, ibunya merasa iba atas nasib anaknya sendiri. Dia bukanlah ibu yang pelit, namun dari tadi belum ada yang membeli tisunya.
Hari semakin sore, orang-orang semakin ramai. Muizz Street Cairo diabadikan dengan kamera handphone ratusan orang yang datang-pergi silih berganti. Dia seorang berpakaian serba putih, jalannya bungkuk, tangan sebelah kanan terbuka ke atas, tangan kirinya memegang tongkat, matanya masih melihat. Sambil berjalan sembari ia melantunkan kalimat “Ya Allah!” Dia berdzikir, tapi hampir semua orang mendengar suaranya. Namun tidak semua yang mendengar meliriknya, kebanyakan sibuk dengan handphone dan mengabadikan bangunan di atas Muizz Street.
Melintaslah kakek bungkuk berpakaian serba putih itu di depan sang nenek yang dibelikan suaminya cincin itu, yang baik pada fotografer, yang dermawan pada pelukis dan yang sayang pada anak kecil tadi, sang nenek itu pun berdiri dan memberikan beberapa lembar uangnya kepada kakek yang berjalan bongkok. Seketika ia mendoakan si nenek.
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
“Aamiin ya Rabb.” sahutnya lalu ia duduk kembali di samping suaminya. Tangan suaminya merangkul pundaknya.
Tiga puluh menit lagi adzan maghrib akan berkumandang, pasangan lanjut usia itu pun siap-siap pulang ke rumah. Sebelum mereka kembali, istrinya ingin sekali berfoto berdua sekali lagi, tetapi kali ini berdiri di atas kursi beton itu. Suaminya menyuruh pasangan muda yang duduk di sebelah mereka tadi untuk mengambil gambar dengan handphone si nenek.
“Geser ke kiri dikit.” kata yang mengambil gambar. Mereka pun segera bergeser. Segera lelaki pasangan muda itu menekan bulatan di layar handphone nenek, tersimpanlah sudah satu gambar indah.
“Sekali lagi,” kata nenek.
“Sekarang tangannya di pinggang.” Nenek itu pun segera melepaskan pegangannya, begitupun kakek. Dan nenek itu terjatuh ke bawah, kepalanya bagian belakang terbentur dengan batako Muizz Street. Kakek segera turun dari kursi semen itu, lekas ia mengampu istrinya. Semua yang melihat datang mendekat, darah mengalir membasahi kerudungnya.
“Innalillahi wa innaa ilaihi raji’un.” ujar suaminya pelan, hampir tak ada yang mendengar ucapannya. Dia mengusap wajah istrinya yang keriput degan tangannya yang juga telah keriput. Pasangan muda itu merasa bersalah meskipun kakek tak menyalahkannya.
Siapa sangka dan siapa yang tahu, bahwa sore nan indah ini adalah sore terakhirnya. Dan kebaikan nenek itu telah dicatat malaikat. Meskipun kebaikannya hanya sederhana, biasa, tetapi setidaknya ia telah menghapus air mata anak kecil yang telah menangis meminta es krim, telah melapangkan sedikit dahaga peminta itu. Semoga Allah menerima amal ibadahnya. []
Darrasa Cairo, 11 Juli 2019