“ANAKMU pipis di masjid. Udah delapan tahun juga. Malu maluin orangtua aja ni anak,” suaranya keras menahan marah saat usai berjamaah subuh.
Aku hampiri, bertanya lalu setelah mendengar penjelasannya, aku dan anak lelakiku bergegas ke masjid. Lap pel, sabun, sikat dan selang tak luput dalam genggaman kami.
Selama mencuci karpet dan mengepel lantai mesjid, kupandangi sesekali wajahnya.
Ya, wajah anakku. Wajah lugu itu.
Ibumu ini tak henti hentinya berkata dalam hati. Maafkan aku Nak, bukan, sekali lagi bukan.
Ini bukan salahmu, Nak.
Orang yang patut dimarahi, dimaki dan disalahkan adalah aku, ibumu ini..
Dulu, ketika kau masih bayi, ibumu tak mau repot sama sekali.
Dengan sedikit uang lebih ibu pakaikan diapers agar cucian tak banyak, lantai tak harus sering dipel.
Alasan ibu banyak sekali kala itu. Ibumu ini pun tak menyediakan waktu untuk melatih keterampilanmu saat ditoilet. Lagi lagi alasannya sayang.
Ya, karena ibu sayang, maka ibu yang bantu semuanya. Selesaikan semuanya.
Hari ini Allah menegur ibu, Nak!
Ternyata ibu gagal tes mendidik kala 0-2 tahunmu.
Pun gagal ujian saat 2-7 tahunmu.
Akibat keengganan ibu repot pada masa masa itu, maka ibu masih repot saat ini.
Anakku, tak ada ruang dalam hatiku untuk menghukummu. Karena itu adalah keterlambatan perkembanganmu.
Ibu pun tersadarkan, maka segera ibu buatkan program bermutu untukmu.
Begitulah Allah menegur ibumu saat subuh hari itu.
Allah menyayangi kita, Nak. Ibu tak henti hentinya bersyukur.
Anak ibu begitu senang ke masjid, kala anak orang lain masih terlelap tidur.
Kisah ini akan jadi kenangan indah kita bersama. Kuceritakan kelak saat kau dewasa. []