“Aku pernah membaca buku tentang harimau di sekolah. Harimau dapat berenang di air. Anak harimau berlatih dengan mencakar di pohon. Anak harimau sering mengejar ekor induknya. Selain itu aku membaca buku peristiwa, yaitu tentang fenomena aneh, ayam jantan bertelur, lubang misterius di persimpangan kota, kawinkan ular untuk mencegah nasib buruk, dikira gas bocor eh! Ternyata kentut babi”.
Itu adalah penggalan paragraph terakhir naskah tulisan yang berjudul “Aku Dan Buku”. Tulisan itu dibuat oleh seorang anak berusia 10 tahun yang duduk di kelas 4. Kami para guru tercengang membacanya. Mulai pragraph kedua dia menulis buku-buku yang pernah dibacanya. Dia menuliskan kembali dengan bahasa sendiri bukan copy paste.
Beberapa orangtua sempat khawatir tatkala melihat anak mereka tak memakai buku tulis untuk menulis. Setiap hari siswa siswi kami menulis jurnal pada kertas hvs polos. Menuliskan laporan kegiatan pun pada kertas polos.
Menulis adalah kegiatan rutin yang murid murid lakukan setiap hari. Tak ada paksaan agar semua murid menulis. Guru hanya membuat pijakan. Pijakan lingkungan diawali dengan menyiapkan kertas serta alat tulis diatas meja. Bicara kepada anak, ” boleh, silahkan menuangkan ide/gagasan, boleh menggambarkannya boleh menuliskannya”.
Membuat anak yang sudah bisa menulis menjadi senang dan cinta menulis bukanlah perkara mudah. Saya saja sudah setua ini, perlu mengerahkan energi besar agar bisa menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk tulisan. Padahal saya sudah bisa menulis sejak usia 5 tahun.
Membaca tulisan anak itu membuat hati terenyuh, malu rasanya, dia semuda itu mampu membaca buku, mengerti maknanya lalu menuangkan kembali dengan kalimat sendiri. Dia anak karyawan di sekolah kami. Bangga rasanya punya murid seperti ini. []