Oleh: Rohmat Saputra,
Way Jepara, Lampung Timur, jeparahanif@yahoo.co.id
SEORANG pemuda ingin bergegas meninggalkan kampung dimana tempat ia dilahirkan. Ia ingin meninggalkan Makkah dan menuju tempat baru yang bernama Madinah. Ia bersama-sama kaum muslimin lainnya melangkah kaki meninggalkan tempat yang telah banyak kenangan di dalamnya. Berat rasanya meninggalkan negeri yang diberkahi dan tempat yang menjadi qiblat kaum muslimin di seluruh dunia. Keterpautan hati telah tersimpul erat dengan tali ruh keberkahan yang meliputi segala sudut jejak para Nabi di sana.
Pengaruh perintah dari mulut Manusia Agung akhir zaman itu telah tersentuh pada hati kaum muslimin untuk tergerak menuntun mereka melaksanakan perintah Allah. Namun ada perbandingan yang sangat jauh antara pemuda ini dengan kaum muslimin yang lain. Keinginan mereka untuk keninggalkan negeri yang begitu berkah.
Pemuda itu telah terkotori niatannya, melenceng jauh, yang seharusnya untuk Allah dan Rosulnya. Tapi ini untuk seorang manusia lain yang ia cintai. Karena begitu cintanya ia rela mengalihkan niatan itu kepada yang ia cintai. Ia hijrah karena niat ingin bertemu seorang wanita dan kemudian akan menikahinya. Walaupun secara fisik ia hijrah bersama-sama kaum muslimin, tapi didalam hatinya tak sebagaimana kaum muslimin yang lain.
Inilah kemudian yang menyebabkan munculnya hadist tentang niat. Seorang pemuda yang hijrah karena ingin menikahi seorang wanita di madinah. hijrahnya disebut dengan hijrah ummu qois. Ia hijrah karena seorang wanita yang bernama Ummu Qois. Dan dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya wanita itu saja.
Imam An-Nawawi dalam syarh Muslim(13/81) berkata: “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.
Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:
مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلُ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ
”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”. (HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al(16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).
Jika seandainya ia hijrah untuk Allah, atas perintah Allah dan Rosul, kemudian di Madinah bertemu dengan wanita itu lalu menikahinya, justru itu lebih baik. Ia mendapatkan balasan atas niat baiknya dan mendapat bonus langsung dari Allah, yaitu seorang wanita. Tapi realitanya ia tidak beruntung, tidak sebagaimana kaum muslimin lainnya, mendapatkan balasan atas hijrah dengan niat memenuhi panggilan suci dari Rabb mereka.
Kisah diatas mengajarkan kita tentang niat yang tersimpan dalam hati. Suatu kehendak yang nantinya akan berubah menjadi tindakan ini sangat mempengaruhi gerak gerik manusia dalam menjalani hidup. Dalam kacamata aktifitas, maka kehidupan kita terbagi menjadi dua. Yaitu aktifitas sebagai rutinitas biasa dan aktivitas Ibadah.
Aktivitas rutinitas biasa, adalah segala macam bentuk perbuatan yang berada diluar praktek haram, namun hanya sebagai rutinitas. Tidak ada sangkut pautnya dengan ibadah. Tak membuahkan pahala didalamnya. Karena hanya sebuah kegiatan harian. Aktifitas ibadah adalah segala bentuk rutinitas yang mengandung ibadah didalamnya. Jika dilakukan akan menelurkan pahala. Besar kecilnya tergantung dari macam ibadah itu sendiri.
Namun dua rutinitas itu bisa menjadi kombinasi yang baik. Amalan rutinitas biasa tapi selalu menghasilkan pahala yang selalu mengalir. Yaitu jika amalan biasa, seperti tidur, makan, minum, bekerja, ia niatkan untuk Allah. Ia makan dan minum agar dapat melanjutkan hubungan antara dirinya dengan Allah lewat Ibadah Mahdhah. Ia bekerja untuk memenuhi kewajiban ia sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap keluarga yang ia bangun. Oleh Allah itu terhitung pahala dan dicatat kebaikan padanya.
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Artinya:“Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang lelaki memberi nafkah atas keluarganya, dia berharap pahala atasnya maka nafkah tersebut baginya adalah sedekah.” (HR. Bukhari).
Namun ternyata kombinasi antara rutinitas biasa dengan ibadah, bisa juga menjadi sebaliknya. Artinya rutinitas ibadah berubah menjadi rutinitas amalan biasa. Tak ada bedanya dengan amalan rutinitas yang tak membuahkan pahala. Celakanya dalam hal ini selain ketiadaan pahala, ia juga akan terserang ancaman dosa. Seharusnya rutinitas ibadah benar-benar dijadikan ibadah. Dan membuang semua kekakuan yang mengalirkan setiap gerakannya menjadi kegiatan biasa. Karena salah satu manfaat ibadah adalah untuk meningkatkan kwalitas hubungan antara Allah dan manusia.
Jika ibadahnya sekedar menjadi rutinitas, contohnya shalat, maka ia tak dapat mempengaruhi manusia untuk menahan dirinya dari perbuatan keji dan mungkar. Itu adalah salah satu tujuan adanya ibadah. Dan tidak akan membuahkan hasil seperti itu jika shalatnya masih saja sebagai rutinitas yang tak ada bedanya seperti makan dan minum. Tujuan utama dari ibadah agung tersebut tak tercapai. Terhalang dengan niatan yang terbentuk dari kebiasaan pola pikirnya setiap hari.
Maka niat adalah seumpama perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai syetan mencuri perhiasan itu lalu menukar perhiasan tersebut dengan batu biasa yang tak ada harganya. niat yang telah disepuh menjadi emas keikhlasan, tak seharusnya dengan mudah merelakannya hilang dari peredaran hati. Karena siapa manusia yang mau kehilangan satu-satunya perangkat yang berharga. Yang dapat menghantarkan sinyal keridhoan kepada sang Pencipta. Marilah kita jaga perhiasan ikhlas ini dengan sebaik-baiknya dalam setiap amal kebaikan, terlebih tatkala ibadah.
Wallahu a’lam bisyowab. []