Oleh: Mawar Dani – Pegiat tulis berdomisili di Asahan
SORE yang indah saatnya berbagi kisah dengan harapan menjadi bahan renungan bagi kita semua. Baiklah, siapa yang tidak tahu dengan selembar kertas yang bernama surat undangan. Entah itu surat resmi atau tidak.
Kali ini saya akan mengajak kita semua untuk merenung barang sejenak saja. Pernahkah di antara kita mengadakan sebuah hajatan lalu untuk menghadirkan seluruh tamu kita gunakan surat undangan sebagai bentuk penghormatan bagi mereka.
Pernahkah di antara kita membuat perbedaan yang berarti antara bakal tamu tersebut melalui surat undangan? Baiklah, ini pengalaman yang saya ambil dari pengalaman sendiri.
BACA JUGA: Tidak Menghadiri Undangan Walimah, Dosakah?
Beberapa hari lalu, seorang utusan datang ke kantor mengantar surat undangan. Hajatan tersebut berasal dari seorang pemimpin salah satu desa di kecamatan sini. Undangan tersebut cantik, desainnya unik, jika diperkirakan harga persatuannya bisa mencapai tiga ribu rupiah.
Hari ini, sepulang saya dari kantor, ada undangan dari orang yang sama. Ada yang membuat saya miris. Surat undangan untuk orang tua saya hanya selembar kertas tak lebih mirip kertas HVS bertulis juga berwarna.
Ini bukan sebentuk baper karena saya menganggap orangtua saya tidak dihormati. Sama sekali bukan. Yang ada dalam benak saya adalah kenapa hal itu mesti mendapatkan perlakuan beda? Apakah karena orangtua saya termasuk tamu dari kalangan biasa?
Lupakan soal perbedaan antara undangan yang saya terima dengan orangtua. Pernahkah sedikit saja kita berpikir, kenapa pada saat butuh kita mengelu-elukan golongan bawah? Saat kita butuh suara dari mereka demi sebuah jabatan, kita ingat mereka.
BACA JUGA: Undangan Pernikahan Sang Mantan
Pahamilah, tidak ada yang bisa disebut pemenang jika di antaranya tidak menerima kekalahan . Begitu pun orang terhormat, mereka tidak bisa disebut orang ‘besar’ jika di antara mereka tidak ada yang menyandang golongan bawah.
Melalui secuil kisah sederhana ini, mari merenung sejenak. Tanamkan dalam hati sebuah tekad, menghapus perbedaan antara golongan. Kita semua sama. Diciptakan oleh Allah melalui setetes air hina. Takdir dan ketentuan Dia yang menjadikan kita berbeda.
Allah saja membebaskan kita menghirup udara, menikmati cahaya matahari, menikmati pemandangan alam, dan lain sebagainya tanpa membedakan apakah orang tersebut kaya atau miskin.
Semoga bisa dipahami dengan kelembutan hati. Ambil yang bermanfaat dan tinggalkan yang buruk.
Asahan, November 2015