NABI ﷺ dijuluki sebagai Al-Amin atau orang yang jujur dan terpercaya. Bahkan, julukan ini dikenal dan diakui oleh orang-orang musyrikin. Salah satu bukti pengakuan mereka terhadap sifat amanah beliau adalah mereka menitipkan barang-barang berharganya kepada Nabi ﷺ ketika mereka hendak meninggalkan kota Mekkah untuk sementara. Mereka mengetahui Muhammad adalah orang yang sangat amanah. Bahkan, sebagian mereka masih menitipkan barang-barang berharganya kepada Muhammad ﷺ meskipun beliau sudah menyatakan dirinya seorang Nabi.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi, mereka berkata: “Maka Rasulullah ﷺ keluar—berhijrah ke Madinah—sementara Ali bin Abi Tholib tetap tinggal di Mekkah selama 3 hari 3 malam sampai menyerahkan kembali harta titipan yang dititipkan orang-orang kepada beliau. Tatkala Ali selesai menjaga dan mengurus pengembalian harta-harta tersebut, Ali menyusul Rasulullah ﷺ ke Madinah.
Meskipun kaum musyrikin Arab mengakui bahwa Nabi adalah orang yang sangat amanah, tetapi setelah mengumumkan dirinya adalah seorang Nabi, tiba-tiba semua orang musyrikin memusuhi Nabi ﷺ. Lalu, mereka menuduh beliau sebagai seorang pendusta, orang gila, penyair gila, dukun, dan orang yang terkena sihir. Anehnya, mereka tetap saja menyimpan barang-barang berharganya kepada Nabi ﷺ. Seandainya mereka jujur dalam tuduhannya—bahwa Muhammad adalah seorang pendusta—mereka tidak akan menyimpan barang-barang berharganya kepada Nabi. Bahkan, ini terus berlanjut hingga Nabi berhijrah ke Madinah. Nabi pun memerintahkan Ali Bin Abi Thalib untuk mengembalikan barang-barang tersebut kepada pemiliknya.
BACA JUGA: 7 Fakta dalam Al-Quran yang Mengagumkan!
Bukti lain bahwa Nabi dikenal sebagai orang yang amanah adalah ketika terjadi perselisihan di antara pembesar-pembesar kafir Quraisy saat mereka memugar atau merenovasi Ka’bah. Seluruh kabilah Quraisy pun ikut membantu dan mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Masing-masing kabilah bertugas untuk membangun Ka’bah pada posisi tertentu. Lalu, ketika seluruh bagian Ka’bah telah selesai dibangun dan tinggal bagian Hajar Aswad yang belum dipugar, timbul perselisihan di antara mereka. Masing-masing kabilah menginginkan agar merekalah yang mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Akhirnya, masing-masing kabilah berkumpul dan saling bersumpah untuk berperang. Bahkan, mereka bersumpah dengan cara memasukkan tangan mereka ke darah yang diletakkan di tempayan.
Ketegangan tersebut berlangsung dalam waktu 4 sampai 5 hari. Akhirnya, mereka berkumpul dan bermusyawarah di Masjidil Haram. Seorang ketua mereka yang bernama Abu Umayyah bin Al-Mughirah memiliki ide. Ia berkata, “Wahai kaum Quraisy, Angkatlah seseorang menjadi Pemberi Keputusan atas perselisihan kalian jika orang itu yang pertama kali masuk dari pintu masjid ini (yaitu Masjidil Haram). Dia-lah yang akan memutuskan perkara kalian.”
Akhirnya, mereka pun setuju. Ternyata, orang yang pertama masuk dari pintu tersebut adalah Nabi ﷺ. Mereka serentak berkata, “Inilah Al Amin (orang yang amanah atau terpercaya). kami telah ridha. Inilah Muhammad.”
Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Maula Mujahid—salah seorang yang ikut serta dalam pembangunan Ka’bah di masa Jahiliyah—ia berkata, “Sebagian suku dari Quraisy berkata, ‘Kami-lah yang akan meletakkan Hajar Aswad,’ Sebagian yang lain berkata, ‘Kami yang akan meletakkannya.’ Lalu, mereka berkata, ‘Jadikanlah di antara kalian seorang hakim (pemberi kdputusan)!’ Mereka berkata, ‘Yaitu orang yang pertama kali muncul dari jalan ini.’ Ternyata Nabi ﷺ-lah yang datang. Maka, mereka berkata, ‘Telah datang kepada kalian Al-Amin (orang yang terpercaya).’ Lalu, mereka mengabarkan kepada Nabi (apa yang sedang mereka perselisihkan). Kemudian, Nabi meletakkan Hajar Aswad di sebuah baju dan memanggil seluruh kabilah Quraisy. Masing-masing mereka mengangkat dan memegangi ujung-ujung baju tersebut. (Setelah Hajar Aswad diangkat secara bersama-sama), Nabi meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya.’”
Kaum musyrikin sebenarnya mengakui sifat amanah dan kejujuran Nabi, tetapi keangkuhan menghalangi mereka untuk membenarkan kenabian Muhammad. Salah satunya tentang Asbabun Nuzul Surah Al-Lahab. Pada suatu hari, Nabi mengumpulkan orang-orang musyrikin dan memanggil seluruh kabilah—seakan-akan telah terjadi sesuatu yang berbahaya.
BACA JUGA: Zaid bin Tsabit dan Mushaf Al-Quran
Ibnu Abbas berkata, “Tatkala turun firman Allah, ‘Berilah peringatan kepada keluarga yang terdekat’, Nabi ﷺ naik ke Jabal Shofa. Kemudian, beliau pun menyeru, ‘Wahai Bani Fihr, wahai Bani ‘Adiy (dalam riwayat lain Ya Shabahah). Hingga akhirnya mereka berkumpul, sampai-sampai jika ada seseorang di antara mereka yang tidak bisa hadir, mereka mengirimkan seorang utusan untuk melihat apa yang terjadi.
“Datanglah Abu Lahab dan kaum Quraisy (dalam riwayat yang lain mereka berkata, ‘Ada apa denganmu?’). Kemudian Nabi berkata, ‘Bagaimana menurut kalian Jika kukabarkan kepada kalian ada sekelompok tentara berkuda di lembah hendak menyerang kalian secara tiba-tiba. Apakah kalian mempercayaiku?’ Mereka menjawab, ‘Iya kami tidak pernah mengetahui darimu kecuali kejujuran (dalam riwayat lain kami tidak pernah mendapatimu berdusta sama sekali).’
Lalu, Nabi berkata, ‘Jika demikian sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian di hadapan siksa yang pedih.’ Maka, Abu Lahab pun berkata, ‘Celakalah kamu, Muhammad. Sepenuh hari, apakah hanya karena ini kamu mengumpulkan kami?’ Lantas turunlah firman Allah, ‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan binasa. Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.'”[]
SUMBER: TAFSIR JUZ AMMA | PUSAT STUDI QURAN