Oleh: Fakhri Fauzan Azhari
Mahasiswa Jurusan KPI STAI Persis Bandung
TAK dapat dipungkiri lagi dunia internet sudah merupakan dunia semua kalangan di zaman ini. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Tiada hari tanpa membaca, tiada hari tanpa melihat berita, dan tiada hari tanpa mengenal dunia, bahkan hanya sekedar mengetahui aktivitas rekan-rekan, itu semua dilakukan via online.
Gadget sudah barang tentu menjadi pilihan untuk melengkapi keperluan hidup. Gadget merupakan alat fungsi praktis yang berbau teknologi. Simpel, ringan, berukuran mini, itu yang membius orang-orang untuk memilikinya.
Gadget yang dikoneksikan internet mengajak setiap orang menjelajahi dunia dengan cepat, dimanapaun dan kapanpun. Ingin mencari definisi, informasi, bahkan referensi. Orang dengan gampang hanya tinggal klik.
Lalu, bagaimana dengan buku? Masih adakah penggemarnya? Masihkah ada yang setia memegang buku? Apakah buku sudah dikalahkan oleh gadget? Hmm… Mungkin sudah. Mungkin belum. Mungkin akan. Secanggih-canggihnya gadget, saya rasa orang-orang masih tetap dan selalu membutuhkan buku. Buku adalah benda ajaib. Buku hanya berupa benda ketika belum dibaca. Setelah dibaca, sesuatu di dalam buku itu bisa berada di mana-mana, dalam diri kita.
Tanpa harus membeli, kita selalu bisa membaca buku misalnya ke perpustakaan atau meminjam buku seorang teman, meskipun yang terakhir ini seorang teman juga pasti membeli. Dalam keadaan terdesak pun, kita bisa saja mencuri buku, seperti dalam film “The Book Thief” yang diinspirasi dari novel berjudul sama dengan filmnya, karya Markus Zusak. Cerita yang berlatar ganasnya perang dunia II, ketika Nazi membakar semua buku, tapi seorang gadis kecil bernama Liesel Meminger, dengan semangatnya, mengumpulkan (mencuri) berbagai buku, kemudian belajar membaca dan menulis di ruang bawah tanah dalam rumahnya.
Tanpa buku, Tan Malaka bukanlah Tan Malaka. Seperti bagian pendahuluan dalam Madilog pada judul “Perpustakaan”, ketika Tan Malaka menceritakan kehilangan buku-bukunya di setiap perjalanan, lalu mengumpulkannya lagi sekuat tenaga, kalau perlu katanya, makan bisa dikurangi. Dan setelah itu semua, bagaimana pun kita harus setuju, negara Indonesia tidak akan berdiri tanpa adanya buku. Bahkan agama-agama juga tidak akan menyebar tanpa adanya kitab suci yang juga berupa buku.
Bisa kita analogikan bahwa buku ibarat siklus kehidupan manusia. Front cover (sampul depan) adalah awal kita hidup di dunia ini. Back cover (sampul belakang) adalah tanggal dimana kita harus berpulang menghadap-Nya dan meninggalkan dunia ini. Setiap lembaran dalam buku ibarat hari-hari yang kita jalani dalam kehidupan kita. Ada buku yang tebal dan juga ada buku yang tipis. Ada buku yang enak ketika dibaca, tentu juga ada buku yang pusing ketika dibaca. Begitupun kehidupan kita di dunia yang fana ini, ada yang jatah hidupnya tipis, ada juga yang jatah usianya tebal. Ada kisah hidup kita yang membuat bahagia, tak luput juga dengan kisah pilu.
Sekali lagi, secanggih-canggihnya gadget, pasti tetap kita membutuhkan buku. Namun, sebagai generasi yang hidup di zaman milenial ini, yang membutuhkan informasi sebanyak mungkin, haruslah bijak menggunakan sebuah gadget. Atau kita bisa mengkolaborasikan antara gadget dan buku. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, membaca tidak hanya melalui buku saja, melainkan bisa dilakukan lewat gadget. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.