Oleh: Fachriy Aboe Syazwiena
DALAM sebuah acara buka puasa, di tahun-tahun yang lewat, seorang anak membacakan surat-surat yang dihafalnya, termasuk hadits dan do’a-do’a nabawi di hadapan para tamu. Mereka kagum dengan anak kecil tersebut.
Sang ayah mengakui bahwa anaknya tersebut diajarkan oleh ibunya. Sang anak sering mendengar hafalan Al-Qur-an, hadits maupun do’a-do’a yang dibacakan sang Bunda.
Ini adalah salah satu bukti betapa mudahnya mereka, anak-anak, menghafal dari bacaan orang lain. Ini disebabkan kekuatan pendengaran mereka yang lebih tajam dari penglihatan.
Terdapat beberapa riwayat tentang ini diantaranya dari sahabat Samurah bin Jundub dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Samurah bin Jundub bertutur, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Di zaman Nabi, aku adalah seorang anak kecil. Namun, aku turut pula menghafalkan hadits dari beliau, sementara orang-orang yang ada di sekelilingku semuanya lebih tua dariku.”
Ibnu ‘Abbas bertutur: “Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah radhiyallahu ‘anha. Terdengarlah suara mu’adzdzin mengumandangkan adzan. Nabi pun keluar untuk melaksanakan shalat, dan ketika itu beliau berdo’a:
اللهم اجعل في قلبي نورا واجعل في لساني نورا واجعل في سمعي نورا واجعل في بصري نورا واجعل خلفي نورا ومن أمامي نورا واجعل من فوقي نورا ومن تحتي نورا اللهم أعظم لي نورا
“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, jadikanlah cahaya dalam penglihatanku, jadikanlah cahaya di belakangku, jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya di atasku, jadikanlah cahaya di bawahku dan besarkanlah cayaha untukku, ya Allah.”[2]
Kedua riwayat di atas memberikan penguatan kepada Bunda bahwa anak-anak begitu cepat dan mudah menghafal dari pendengaran mereka.
Lihatlah Samurah bin Jundub kecil yang menghafal hadits dari lisan sang Nabi. Lihatlah Ibnu ‘Abbas kecil yang menghafal do’a berjalan menuju masjid dari lisan sang Nabi.
Dengarlah ungkapan Hasan bin ‘ali bin Abi Thalib yang bertutur: “Kuhafal (sebuah kalimat) dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
‘Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju sesuatu yang tak membuatmu ragu.”[3]
Kembali ke anak kecil tadi, tak hanya Al-qur’an, ia juga terlihat menghafal hadits dan do’a nabawi. Maka begitulah kiranya salah satu bentuk pengajaran sang Bunda kepada buah hati mereka yaitu mengajarkan hadits dan do’a, minimal memperdengarnya.
Begitu tersentuh hati sang anak ketika melihat sang Bunda sedang berdo’a dan menangis sambil bersujud, atau ketika sang Bunda memperlihatkan antusiasnya terhadap hadits nabi, atau ketika sang Bunda mengulang-ngulang hafalan hadits yang dia hafal sebelum nikah dahulu.
Lebih dari itu, marilah beralih ke bahasa arab. Ketika pasangan suami istri yang sedang melanjutkan studi mereka ke Eropa, ini menjadikan sang anak mampu berbahasa inggris, minimal memahaminya atau memudahkan sang anak untuk mempelajari bahasa inggris. Ini dikarenakan, salah satunya, kedua orang tua merutinkan diri untuk menggunakan bahasa inggris di rumah kontrakan mereka di negara tempat melanjutkan studi.
Sekarang, bagaimana sekiranya jika pasangan suami istri di rumah mengganti bahasa inggris dengan menggunakan bahasa arab sehingga anak-anak terbiasa dengan bahasa ini dan juga lahjah-nya? Tentu ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa.
يا أمي أين قلمي؟ أريد أن أكتب لك شيء
“Ya ummie. Aina qalamie? Uridu an aktuba syai-an laki?”
(Bu, mana pulpen adik? Adik pengen nulis sesuatu untuk ibu)
أمي أين أبي؟ ما رأيته اليوم
“Ummie, Aina abie? Ma ra-aituhu al-yaum”
(Ummii, abi mana? Kakak ngga liat abi hari ini).
أمي إن تبسمك جميل أجمل من القمر
“Ummie, inna tabassumaki jamiil ajmalu min alqamar”
(Mama.. senyum mama begitu cantik, lebih cantik dari rembulan)
Begitu senang dan ceria hati sang Bunda ketika ngobrol bersama si kecil seperti kalimat di atas. Apalagi kelak, di masa-masa mendatang pada episode kehidupan selanjutnya, mereka akan bertutur di hadapan Bunda mereka atau via telefon:
أمي قد حفظت القرآن كله
“Ummiiiiiiie. Qad hafidztu Al-qur’ana kullahu”
(Bundaaaaa, aku telah menghafal Al-Qur-an semuanya)
أمي أنا أستطيع أن أتكلم معهم باللغة العربية جيدا
“Umiiiie. Ana astathi’u an atakallama ma’ahum billughati al-‘arabiyyah jayyidan.”
(Mamaaaa, aku udah bisa ngomong bersama mereka dengan baik pakai bahasa arab)
أمي قد حفظت كثيرا من أحاديث قدوةنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ummiiiieee. Qad hafidztu katsiran min ahaaditsi qudwatinaa Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Ibu, adik udah hafal banyak hadist Rasulillah, teladan kita, shallallahu ‘alaihi wasallam)
Lantas, senyum dan air mata Bunda yang mengalir menandakan terbitnya kebahagiaan di hatinya
***
Subhanaka allahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.
________
End Notes:
[1] Syarah Ushul I’tiqad Ahlussunnah, Juz 7 hal. 1240.
[2] HR Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya (1/229) dengan dua sanad, salah satunya shahih.
[3] HR Tirmidzi dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata “Hadits ini berstatus hasan shahih”
_____
Disarikan dari naskah buku kami yang berjudul “Hingga Engkau Mekar Jadi Mawar”