UNTUK dapat hidup secara normal, setiap anak membutuhkan asupan kalori (energi) dan protein secara seimbang. Kalori (energi) berfungsi sebagai pengatur metabolisme tubuh agar berjalan normal. Sumber energi itu adalah “zat-zat gizi sumber energi” seperti hidrat arang, lemak, dan (dalam kondisi darurat) juga protein. Sedangkan protein merupakan zat pembangun tubuh. Oleh karena itu, bila tidak memperoleh asupan protein yang mencukupi, anak-anak tidak akan mengalami tumbuh-kembang yang normal.
Kekurangan protein juga akan menurunkan imunitas terhadap penyakit infeksi. Sumber protein utama dari makanan adalah daging, ikan, telur, tahu, tempe, susu, dan lain-lain (umumnya adalah makanan yang tergolong sebagai lauk-pauk). Karena sistem imunitas tubuh itu sangat tergantung akan tersedianya cukup protein, maka anak-anak yang mengalami kurang protein akan mudah terserang infeksi seperti diare, infeksi saluran pernapasan, TBC, polio, dan lain-lain.
Gejala awal kurang energi dan protein (KEP) dimulai dengan anak yang tidak mengalami pertambahan tinggi maupun berat badan. Bila keadaan lebih lanjut, anak menjadi kurus dan berat badan justru menurun. Gejala yang ada adalah anak akan lesu, apatis, selalu gelisah, dan cengeng. Anak juga akan mudah terserang penyakit infeksi. Apabila keadaan menjadi lebih buruk, anak yang mengalami kekurangan energi dan protein sekaligus akan menjadi kurus-kering.
Salah satu bentuk dari gangguan gizi yang dikenal sebagai KEP adalah kwashiorkor. Penderita kwashiorkor itu mengalami kekurangan protein, namun dalam batas tertentu ia masih menerima “zat gizi sumber energi” (sumber kalori) seperti nasi, jagung, singkong, dan lain-lain.
Anak dengan kwashiorkor akan mengalami edema (penumpukkan cairan di jaringan bawah kulit; umumnya di ujung-ujung tungkai bawah) dan adanya akumulasi cairan di rongga usus. Bagian tubuh yang menderita edema akan menjadi bengkak, bagian tersebut bila dipencet membentuk suatu cekungan. Terjadi pula penimbunan cairan di rongga perut yang menyebabkan perut si anak menjadi busung (oleh karenanya disebut busung lapar). Apabila keadaan menjadi lebih berat, kulit menjadi kusam dan mudah terkelupas, rambut menjadi merah kusam dan mudah dicabut, anak menjadi lebih sering menderita bermacam penyakit.
Biasanya, Kwashiorkor ini lebih banyak menyerang bayi dan balita pada usia enam bulan sampai tiga tahun. Usia paling rawan terkena defisiensi ini adalah dua tahun. Pada usia itu berlangsung masa peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau makanan sapihan. Pada umumnya, kandungan karbohidrat makanan tersebut tinggi, tapi mutu dan kandungan proteinnya sangat rendah.
Apabila baik zat pembentuk tubuh (protein) maupun zat gizi sumber energi kedua-duanya kurang, maka gejala yang terjadi adalah timbulnya penyakit KEP lain yang disebut marasmus. Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti kurus-kering. Gejala marasmus adalah seperti gejala kurang gizi pada umumnya (seperti lemah lesu, apatis, cengeng, dan lain-lain), tetapi karena semua zat gizi dalam keadaan kekurangan, maka anak tersebut menjadi kurus-kering.
Jadi, busung lapar adalah suatu sindrom yang diakibatkan defisiensi protein yang berat. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Cecily Williams bagi kondisi tersebut yang diderita oleh bayi dan anak balita. Nama ini berasal dari daerah di Pantai Emas, Afrika yang berarti anak terlantar. Defisiensi ini sangat parah, meskipun konsumsi energi atau kalori tubuh mencukupi kebutuhan. []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta