Oleh: Ida Fitri, idafitri1981@gmail.com
SORAK-sorai penggemar, jumpa pers, kilatan blitz dan menandatangai kaos, mug, notes terasa begitu membosankan bagi Lee Min Wo. Ketenaran sebagai penyanyi dan actor dalam gengamannya. Ditambah dengan postur tinggi, bibir merah, hidung mancung membuat fans cewek semakin tergila-gila. Dia tidak hanya digilai di tanah Korea melainkan juga di Jepang, Cina dan Asia Tenggara.
Bahkan dalam sebuah show, seorang fans cewek nekat menerobos panggung untuk mencium pipinya. Benar-benar menjijikkan. Tapi dia harus tetap tersenyum.
Ah! Dia bergelut dengan kemunafikan. Saat sakit pun harus tetap tersenyum bila berada di atas panggung atau di depan kamera. Lelaki itu benar-benar bosan. Tapi jadwalnya begitu padat. Lee Min Wo juga mulai bosan pada Song Hun manajer. Lelaki feminim yang sangat cerewet. Bahkan makanannya pun diatur sang manajer. Dia tidak boleh menyantap Bulgogi tumis karena berminyak dan mengandung banyak lemak.
Lee Min Wo akhirnya mengajukan cuti pada pihak manajemen. Bukannya dikabulkan, Song Hun melemparkan sebuah naskah drama ke depannya.
“Wwo?” Cowok ganteng tersebut mengernyitkan dahinya.
“Itu naskah drama Sukjong dari Joseon, Kamu berperan sebagai Jendral tangan kanan Sukjok. Eyke mendapatkannya penuh perjuangan. Sampai jambak-jambakan dengan manajer Siwon oppa.”
“Aku minta cuti, bukan naskah.” Wajah Min Wo berkerut-kerut.
“Syutingnya di Gyeokbokgung, kamu bisa sekalian liburan di sana.”
“Haa?” Apa yang bisa dilihat di bangunan tua peninggalan Joseon itu? Dan dia harus memakai Hanbok? Ya Tuhan …., lenyap sudah pesona Lee Min Wo. Lelaki dua puluh enam tahun tersebut melirik manajernya dengan ekor mata. Dalam hati ingin nerobek bibir doer sang manajer.
***
Gyeokbokgung Palace, Sabtu, 28 Juni 2015, pukul 19. 10
“Cut!” teriak sutradara bertubuh kerempeng untuk kesekian kalinya, “Min wo, Kamu nggak fokus apa? Dari tadi salah terus.”
“Miane, Sutradara Yoo.” Minwo benar-benar bosan melakukan adegan dengan baju perang jaman joseon bersama seorang wanita yang lebih tua delapan tahun darinya. Kenapa sutradara selalu memilih wanita tua untuk berpasangan denganya?
“Ulangi!” lanjut Sutradara Yoo.
“Tidak! Jangan tinggalkan aku, Hiun Min.” ujar Min Wo sambil mengejar dan menarik lengan wanita lawan mainnya. Tarikannya terlalu keras, artis lawan mainnya hampir terjatuh.
“Cut! Cut! Minwo, apa-apan ini?” Sutradara Yoo naik darah. “Saya tidak bisa bekerja sama dengan orang yang tida profesional sepertimu.” Sutradara menyuruh krunya berhenti syuting dan membereskan perlengkapan.
Lee Min Wo bersorak dalam hati. Dia berhasil memporak-porandakan syuting hari ini. Dipandang langit malam, bulan baru setengah menampakkan wujudnya. Malam ini kru dan artis bebas memakai istana sampai malam hari. Rumah produksi pasti mengeluarkan banyak uang untuk menyewa tempat ini. Dan dipastikan mereka harus menambah pengeluaran untuk sewa semalam lagi. Tapi nama besar Lee Min Woo cukup sebagai jaminan drama ini akan mendapat rating teratas.
Mereka seenaknya menjual dan memanfaatkannya. Lelaki itu benar-benar bosan pada hidupnya. Persetan dengan semuanya!
Mata lelaki yang memiliki tinggi 187 cm tersebut tertuju pada Hyangwonjeong, sebuah paviliun yang berada di tengah danau Hyangwonji. Seperti ada magnet yang menariknya menuju bangunan yang termasuk wilayah istana tersebut. Dia mengambil jalan memutar melalui jembatan Chwihyanggyo. Tak sanggup membayangkan betapa kakunya istana ini pada masa joseon. Untuk meniduri permaisuri dan selir-selirnya saja raja harus mengikuti undang-undang.
Begitu pun hidup Lee Min Wo. Segalanya serba diatur. Punya banyak uang tapi tidak bisa memakai sesuai keinginnanya. Kadang dia berpikir, sebenarnya yang menggaji Song Hun, dia? Atau jangan-jangan Song Hun yang menggaji Min Wo?
Masih tergambar dalam ingatan Minwo ketika orang suruhan manajernya menarik tangan Yoona, perempuan yang dia cintai dari sisinya. Sekuat tenaga Min Wo menghalangi mereka. Tapi apa daya melawan tiga orang professional suruhanan Song Hun. Semenjak saat itu dia tak pernah melihat Yoona lagi.
Tidak baik kalau diketahui fans cewek, Min Wo berpacaran, kata Song Hun. Bisa menurunkan popularitas. Semenjak saat itu, Min Wo memilih hidup sendirian. Tak dibiarkan seorang pun mendekati, tapi kesunyian begitu menyiksa. Malam ini sepertinya sangat tepat untuk mengakhiri semua ini. Dipegang saku celananya. Benda bulat kecil masih ada di situ. Botol obat yang selalu dibawa kemana pun pergi. Dia Akan menegak habis isinya di saat dirinya siap. Mungkin malam inilah waktunya ….
Sesampainya di Hyangwonjeong, Min Wo melepas hambok. Dia tak ingin mati dengan baju yang tidak keren.
“Fhykh …,” Seorang cewek berteriak dengan bahasa yang tidak dimengerti Min wo. Cewek itu bangkit dari sudut paviliun.
“Nugu?” tanyanya.
Perempuan itu memakai baju panjang. Mungkinkah salah seorang cameo di drama? Seluruh badan tertutup sampai ke ujung kaki. Bahkan kepalanya juga tertutup. Min Wo tidak tahu ada hanbok wanita yang berbentuk seperti itu. Perempuan itu memakai bahasa yang tidak dimengerti. Mungkinkah itu bahasa Goguryeo? Bahasa korea sebelum hanggul. Tidak, ia pernah belaja bahasa Goguryeo.
“Miane, …”
“Kamu bisa bahasa Korea?”
Perempuan itu mengangguk pelan.
Sinar lampu dari luar paviliun membuat Min Wo mampu menangkap jelas paras perempuan berkulit agak gelap bermata bulat itu. Wajah astristik tapi bukan milik korea. Munkin campuran Asia selatan atau tenggara. Atau jangan- jangan ini selir Hui, selir cantik bermata bulat.
“Nugu?” ulang Min Wo lagi.
“Nina, Indonesian.”
“Indonesian?” Min Wo teringat pernah show dua kali di Jakarta. Dia juga pernah ke Bali.
“Kenapa kamu di sini? Jam open istana sudah selesai dari sore tadi.”
“Anu … sepertinya darah rendahku kumat tadi. Aku pusing dan pingsan tadi. Well, tidak ada yang melihatku.” Nina memegang kepalanya yang kembali berdenyut.
“Obat apa itu? Kamu …. Kamu Lee Min Wo aktor itu kan?” Nina menyadari sesuatu.
“Ini bukan apa-apa.” Minwo salah tingkah.
Nina merampasnya dari tangan cowok itu. Dibacanya etiket obat.
“Bodoh? Orang Korea Bodoh.”
“Apa kamu bilang?” protes Min Wo.
“Iya, kalian memang bodoh. Sedikit-sedikit bunuh diri. Gagal show bunuh diri, sedikit masalah bunuh diri. Kamu mau menegak habis obat ini kan?”
Min Wo hendak merampas botol tersebut. Tapi kalah cepat dari Nina yang menjauh dari pemuda tersebut.
“Dramamu gagal?”
“Tidak!”
“Lalu kenapa?”
“Aku bosan terkenal,” ucap Minwo lemah.
“Bodoh,” ulang Nina lagi. “Untuk hidup aku sampai meninggalkan tanah air dan dua anakku.”
Minwo memandang perempuan di hadapannya, “Kembalikan obatku.”
Nina memasukkan botol obat tersebut kedalam tasnya, “Obatmu kusita. Ini gantinya. Kalau kamu bosan terkenal, datanglah ke sana. Aku harus pulang, sampai bertemu lagi,” ujar Nina seraya mengangsur selembar kartu nama.
Min Wo hanya bisa memandang kepergian perempuan aneh tersebut. Tanpa disadari ia mendekatkan kartu nama tesebut ke cahaya lampu taman. Seoul Central Masjid, 732-121, Hannam 2-dong, Yongsan-gu, Seoul, South Korea. []
Tentang Penulis.
Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Aceh Timur.