SUDAH menjadi sesuatu yang wajib bagi Umar bin Khaththab sebagai khalifah untuk senantiasa berkeliling di waktu malam untuk mengetahui kondisi umat Islam. Ia khawatir kalau ada di antara mereka yang merasa terdzalimi karena kepemimpinannya, dan akan memberatkan hisabnya di akhirat.
Suatu ketika disaat Umar berkeliling menjelang fajar, ia mendengar pembicaraan seorang ibu dan anak. Ibunya meminta anak perempuannya untuk mencampur susu yang akan dijual pagi harinya dengan air. Tetapi sang anak dengan tegas menolak dan berkata, “Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarangnya!”
BACA JUGA: Wasiat Umar bin Khattab usai Ditikam Abu Lu’luah
Tetapi ibunya tetap saja menyuruh anaknya, karena kebanyakan penjual susu melakukan itu, apalagi Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tidak akan mengetahuinya. Tetapi putrinya itu bertahan untuk tidak mencampurinya dan berkata, “Jika Amirul Mukminin tidak melihatnya, pasti Tuhan melihatnya, aku tidak mau melakukannya karena sudah dilarang.”
Umar begitu tersentuh dengan ucapan anak perempuan itu. Pagi harinya ia menyuruh putranya, Ashim untuk mencari tahu tentang keluarga tersebut, yang ternyata salah seorang dari Bani Hilal. Umar berkata pada anaknya, “Wahai anakku, nikahlah dengannya, sesungguhnya ia yang pantas melahirkan keturunan seorang penunggang kuda yang akan memimpin Arab.”
BACA JUGA: Awalnya Membenci, Umar Akhirnya Jatuh Hati pada Islam
Ashim memenuhi permintaan ayahnya tersebut untuk menikah dengan anak gadis penjual susu. Dari pernikahannya itu, istrinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian dinikahi Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin adil dan jujur, tak ubahnya Khulafaur Rasyidin yang empat, walaupun ia tumbuh dan dewasa di kalangan Bani Umayyah yang mengagungkan kemewahan dan kekuasaan. Seorang pemimpin yang zuhud, sederhana dan wara’ sebagaimana kakek buyutnya, Umar bin Khaththab, sehingga ia sering disebut Khulafaur Rasyidin yang ke lima. []