SHALAT tetap wajib bagi muslim, baligh, berakal, dalam keadaan apapun. Meninggalkan shalat amatlah berbahaya. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan dampak buruk meninggalkan shalat.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, no. 82)
BACA JUGA: Doa saat Banjir yang Diajarkan Rasulullah
Meski adanya ancaman bagi yang meninggalkan shalat, namun Islam dibangun di atas kemudahan. Allah SWT berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Salah satu permasalahan shalat di musim hujan adalah saat terjadi banjir. Shalat saat banjir boleh dilakukan sesuai kemampuan. Allah SWT berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)
Namun tetap saja, syarat sah shalat wajib diipenuhi:
1. Suci dari hadats
2. Suci dari najis
3. Menutup aurat
4. Masuk waktu shalat
5. Menghadap kiblat
Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:200.
Lalu bagaimana jika sulit mencari air bersih saat banjir? Ketika ingin bersuci dari hadats kecil (berwudhu) atau hadats besar (mandi), maka dituntut menggunakan air. Selama ada air bersih dan jernih, itulah air yang digunakan.
Lantas sebenarnya bagaimana cara bersuci bagi korban banjir? Mengingat sebelum melaksanakan shalat tentu perlu bagi mereka untuk bersuci, baik dari hadats kecil, yakni dengan wudhu; dan dari hadats besar, yakni dengan mandi besar.
Terkait hal ini, para korban banjir hendaknya tetap berupaya mencari air yang bersih dan jernih di sekelilingnya jika masih memungkinkan, misalnya dari keran yang berfungsi, bantuan air, atau sumber-sumber air lain yang layak untuk dibuat bersuci.
Meski begitu, tetap boleh bagi para korban banjir berwudhu dengan air banjir yang keruh sebab terkena tanah dan debu.
Hal ini boleh selama air yang digunakan untuk bersuci tidak ditemukan komponen najis atau komponen selain tanah dan debu (mukholith) yang sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air.
Sebab perubahan air karena faktor tercampur tanah atau debu tidak sampai mencegah kemutlakan nama air.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Faqih ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Bafadhal Al-Hadhrami mengatakan,
وَلَا يَضُرُّ تَغَيُّرٌ بِمُكْثٍ وَتُرَابٍ وَطُحْلُبٍ وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ
“Perubahan air sebab diamnya air (dalam waktu lama), sebab debu, lumut, dan sebab sesuatu yang menetap dalam tempat menetapnya air dan tempat berjalannya air merupakan hal yang tidak dipermasalahkan” (Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah fii Fiqh As-Saadah Asy-Syafi’iyyah, hlm. 53, Penerbit Darul Minhaj).
Berbeda halnya jika seseorang yakin bahwa perubahan air banjir yang berada di sekitarnya lebih dominan karena faktor benda selain tanah yang mencampuri air (mukhalith), seperti sampah, najis dan benda lainnya. Sehingga sampai mengubah terhadap bau, rasa dan warna air, maka air tersebut sudah tidak dapat digunakan untuk bersuci.
BACA JUGA: Banjir Nabi Nuh, Seluruh Dunia Terendam Air?
Berbeda jika seseorang masih ragu, apakah air banjir yang ada di sekitarnya perubahannya karena murni tercampur tanah atau lebih dominan karena tercampur benda yang lain. Maka dalam kondisi demikian, air tetap berstatus suci dan menyucikan. Sebab hukum asal dari air adalah suci, dan kesucian tersebut tidak menjadi hilang hanya disebabkan suatu keraguan.
Dalam hadits disebutkan,
الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya.” (HR. Abu Daud, no. 66; An-Nasa’i, no. 326; Tirmidzi, no. 66. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih). []
SUMBER: RUMAYSHO