KITA sepakat bahwa hutang adalah masalah. Banyak berhutang berarti mengumpulkan banyak masalah. Untuk itulah, syariat mengingatkan agar manusia tidak menjadikan hutang sebagai solusi penyelesaian masalah ekonominya, kecuali dalam keadaan sangat terdesak. Berikut beberapa dalil yang menunjukkan betapa ngerinya berutang:
Pertama: Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda:
نَفْسُ المُؤْمِن مُعَلَّقَةٌ بِدَينِهِ حَتَّى يُقضَى عَنهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung karena utangnya, sampai (utang itu) dilunasi.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Jami’ Ash-Shaghir, no. 6779)
Kedua: Nabi SAW senantiasa memohon perlindungan agar tidak terlilit hutang. Di antara doa beliau:
اللَّهُمَّ إِنّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأثَمِ وَالـمَـغْــرَمِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan lilitan utang.”
Seorang sahabat bertanya, “Mengapa engkau, wahai Rasulullah, sering memohon perlindungan dari lilitan hutang (dengan membaca doa di atas)?”
Beliau menjawab,
إن الرجل إذا غرم حدث فكذب ووعد فأخلف
“Sesungguhnya apabila seseorang terlilit hutang, jika dia berbicara maka dia berdusta dan jika dia berjanji maka dia ingkari.” (HR. Bukhari, no. 798)
Ketiga: Dosa orang yang mati syahid akan diampuni oleh Allah, kecuali hutang.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW, “Jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku terhapus?”
Rasulullah SAW menjawab:
نَعَم، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلَّا الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيهِ السَّلَامُ قَالَ لِي ذَلِكَ
“Ya, jika kamu bersabar, mengharap pahala dari Allah SWT, tetap maju, dan tidak melarikan diri. Kecuali, hutang. Begitulah Malaikat Jibril menyampaikan kepadaku.” (HR. Muslim, no. 1885)
Keempat: Hutang menjadi beban bagi jiwa.
Dari Uqbah bin Amir ra, Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تُخِيفُوا أَنْفُسَكُم بَعْدَ أَمْنِهَا. قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ: الدَّيْنَ
“Janganlah kalian menakut-nakuti diri kalian setelah mendapatkan keamanan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Hutang.” (HR. Ahmad; dinilai hasan oleh Al-Albani).
Karena itu, bagi Anda yang punya hutang, jadikan beban hutang itu di depan pelupuk mata Anda, dan berusahalah untuk melunasi sesegera mungkin. Berdoalah kepada Allah SWT, agar bisa segera membebaskan Anda dari jeratan utang.
Rasulullah SAW bersabda:
من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى الله عنه ومن أخذ يريد إتلافها أتلفه الله عليه
“Siapa saja yang meminjam harta orang lain dengan niat mengembalikannya, niscaya Allah SWT akan melunasi hutangnya. Siapa yang meminjam harta orang lain untuk memusnahkannya (dia habiskan) maka Allah SWT akan memusnahkannya.” (HR. Bukhari)
Kaidah yang berlaku ketika seseorang memegang harta orang lain adalah dikembalikan ke pemiliknya, jika sudah tidak ada maka diserahkan ke ahli waris yang terdekat dengannya, jika tidak memungkinkan untuk menemui mereka, maka disedekahkan atas nama pemilik harta itu.
Imam Nawawi mengatakan:
قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ
مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ
“Ghazali menyebutkan, barangsiapa yang menyimpan harta haram dan ia hendak bertaubat dari perbuatannya serta hendak berlepas diri dari harta haram tersebut, hendaklah ia mencari si pemilik sah harta itu; Apabila pemilik sah sudah meninggal, hendaknya harta itu diserahkan kepada ahli warisnya. Namun jika si pemilik sah dan ahli warisnya tidak diketahui juga, hendaknya harta tersebut disalurkan pada maslahat kaum Muslimin, seperti untuk membangun jembatan, masjid, menjaga perbatasan negara Islam, dan sektor lain yang bermanfaat untuk segenap kaum Muslimin. Bahkan boleh juga ia sumbangkan kepada fakir miskin.” (Nawawi, Majmu’ Syarh Muhazzab, 9:351). []
Sumber: konsultasisyariah