Oleh: KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc., MA., Ph.D
IKHLAS berarti tanpa pamrih. Apa yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Bagi kaum sufi, ikhlas identik dengan cinta. Ketika beribadah bukan karena mengharap pahala atau takut dosa. Namun, ibadahnya semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan, Ia rela masuk neraka asal Allah SWT meridhainya.
Ibadah kepada Allah rentan ternodai oleh rasa pamer (riya’). Akibatnya, ibadah yang dilakukan tak bernilai apapun di mata Allah SWT. Ibadah dengan dibumbui riya bisa terlihat ketika seseorang melakukan shalat dengan suara lantang agar nantinya dinilai orang lain.
Ada pula imam shalat sengaja memanjangkan bacaan agar makmum memujinya. Padahal, sehari-hari ketika beribadah seorang diri, begitu cepat selesai. Shalatnya tersebut tentu hanya menggugurkan kewajiban tanpa memberi manfaat berupa dampak kontrol diri atas perbuatan munkar dan keji.
BACA JUGA: Ingin Jadi Manusia yang Ikhlas? Ketahui 5 Ciri Ini
Lalu ada pula ibadah riya dalam bentuk pengeluaran zakat dan sedekah dengan mengundang orang-orang miskin. Antrean panjang di depan rumah diharapkan agar masyarakat bisa mengagumi aksi zakat dan sedekah tersebut.
Ada pula aksi memberi sumbangan hanya untuk menarik dukungan masyarakat agar terpilih menjadi pimpinan. Bila itu yang dilakukan, maka zakat dan sedekah itu sama sekali tidak bernilai pahala.
Demikian juga bagi orang yang menunaikan ibadah haji hanya untuk mendapat gelar ‘Pak Haji’, dan kebanggan diri berada di Tanah Suci. Maka, hajinya itu tidak bernilai sedikit pun di mata Allah SWT.
Ibadah puasa lebih terlindung dari noda pamer. Saat seseorang menjalankan ibadah puasa, tidak dapat dibedakan dengan yang sedang tidak berpuasa. Seseorang dapat diketahui sedang berpuasa jika dirinya menyatakan atau memberi tahu sedang berpuasa.
Puasa mengajari intim dengan Allah SWT. Ketika yang berpuasa sedang berkumur, lalu ia menelannya maka tidak ada orang yang mengetahuinya. Demikian juga orang makan di warung tertutup atau di rumahnya sediri dengan menutup pintu, maka tidak ada orang yang mengetahuinya. Namun, karena merasa Allah selalu melihatnya, maka ia tidak makan, tidak minum dan menahan nafsunya karena semata-mata merasa dipantau oleh Allah SWT.
“Semua perbuatan anak adam adalah untuk mereka sendiri, kecuali puasa adalah untuk Ku dan Aku yang akan membalasnya”.
Apakah berarti shalat, zakat dan haji bukan untuk Allah atau semata-mata hanya untuk kebaikan manusia saja? Tentu ini menunjukkan bahwa ibadah-ibadah itu rentan terhadap “penyekutuan” kepada selain Allah SWT, karena lebih terbuka. Sedangkan ibadah puasa lebih spesial dan khusus, sehingga Allah SWT berjanji akan membalasnya sendiri.
Jika ada seseorang yang rajin salat namun juga tak dapat mengontrol diri berbuat maksiat dan keji, jika ada seseorang yang berzakat, bersedekah juga berwakaf tetapi tidak mempunyai kepekaan dan kepedulian sosial, dan jika jemaah haji tidak memberi perubahan perilaku dan peningkatan keimanan, maka tentunya dilihat dari kadar keikhlasan dalam ibadahnya.
BACA JUGA: Benar Tuan Aku Telah Ikhlas Menjualnya
Ikhlas hanya ada di dalam hati. Jika seseorang yang menyatakan dan memberitahu bahwa dirinya ikhlas maka tidak bisa langsung disebut mukhlis (yang ikhlas). Sebab, ikhlas itu ada pada dirinya dan Allah yang maha mengetahuinya.
Biasanya keikhlasannya tercermin dalam perbuatannya dan efeknya. Allah menjanjikan pahala yang tak terhingga bagi orang yang ikhlas, beriman dan beribadah, sehingga kelak di hari penghitungan amal akan ditolong oleh Allah SWT. Saat itu manusia benar-benar membutuhkan pertolongan. Ikhlas hanya dapat diraih dengan cara mengontrol diri dan menolak ajakan hawa nafsunya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah adalah yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi). []
SUMBER: CHOLILNAFIS