SHALAT, pembukaannya adalah takbir dan penutupannya salam. Salam yang pertama ke arah kanan, hukumnya rukun. Sedangkan salam kedua ke arah kiri, hukumnya sunah. Adapun menolehnya, baik ke kanan atau ke kiri, hukumnya sunah.
Dalam sebuah hadits dari sahabat Ali bin Abi Thalib, Nabi ﷺ bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, pembukaannya takbir, dan penutupannya salam.” [ HR. Abu Dawud : 61 dan selainnya ]
Dalam madzhab Syafi’i, shalat diakhiri dengan mengucapkan salam terlebih dahulu (dalam posisi wajah masih menghadap kiblat), lalu setelah itu diikuti dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Dimana nantinya, ucapan salam akan berakhir berbarengan dengan berakhirnya menoleh. Dan ini merupakan pendapat dalam madzhab Hanafi. Kami pribadi mengikuti pendapat ini.
BACA JUGA: Celakalah Orang yang Shalat!
Imam An-Nawawi (w.676 H) menyatakan :
قَالَ صَاحِبُ التَّهْذِيبِ وَغَيْرُهُ يَبْتَدِئُ السَّلَامَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَيُتِمُّهُ مُلْتَفِتًا بِحَيْثُ يَكُونُ تَمَامُ سَلَامِهِ مَعَ آخِرِ الِالْتِفَاتِ…هَذَا هُوَ الْأَصَحُّ وَصَحَّحَهُ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْبَسِيطِ وَالْجُمْهُورُ
“Pengarang At-Tahdzib dan selainnya menyatakan, bahwa hendaknya seorang mengawali untuk mengucapkan salam terlebih dahulu dalam kondisi masih menghadap kiblat, lalu menyempurnakannya dengan menoleh, dimana kesempurnaan/akhir ucapan salam bersamaan dengan akhir menoleh…Ini merupakan pendapat yang paling shalih, dan telah dishahihkan oleh Imam Al-Haramain, Al-Ghazali dalam Al-Basith, dan jumhur (mayoritas ulama).”[ Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/477 ].
Adapun dalam madzhab Hanbali, salam diucapkan bersamaan dengan menoleh. Sebagian mereka berpendapat bahwa menoleh dimulai ketika sampai ucapan “Wa rahmahtullah”. [ Simak, Al-Mughni : 1/398 ].
Jika seorang menoleh terlebih dahulu, baru setelah itu mengucapkan salam, maka shalatnya tetap sah menurut empat madzhab. Namun hal ini termasuk perkara yang kurang afdhal. Karena ada bagian tubuh (yaitu wajah) yang berpaling dari arah kiblat dalam keadaan salam sebagai penutup shalat belum diucapkan.
Empat madzhab sepakat, bahwa wajah disunahkan untuk dihadapkan ke kiblat, makruh jika ditinggalkan. Apabila dihadapkan ke kiblat, maka lebih utama. Dalam madzhab Syafi’i dan Hanafi, tolok ukur menghadap kiblat adalah pada dada, bukan wajah. Adapun dalam madzhab Maliki dan Hanbali, yang jadi tolok ukur adalah kedua kaki. [ Simak : Al-Mu’tamad :1/215, Al-Mausu’ah : 4/64 ].
Kesimpulan :
(1). Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i, salam diucapkan lebih dahulu, lalu diikuti dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Dimana keduanya (salam dan menoleh) akan berakhir bersamaan. Dan pendapat ini yang kami pilih.
(2). Menurut madzhab Hanbali, salam diucapkan berbarengan dengan menoleh. Sebagian mereka berpendapat menoleh dimulai ketika sampai ucapan “warahmatulllah”.
(3). Seorang yang menoleh terlebih dahulu baru kemudian mengucapkan salam, shalatnya tetap sah menurut empat madzhab. Namun hal ini kurang afdhal, karena wajah berpaling dari arah kiblat saat salam sebagai penutup shalat belum diucapkan.
BACA JUGA: Perintah Shalat: Kalau Saja Umat Islam Shalat 50 Waktu
(4). Menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, yang menjadi tolok ukur dalam menghadap kiblat adalah dada. Sedangkan menurut madzhab Hanbali tolok ukurnya adalah kedua kaki.
(5). Ulama empat madzhab sepakat, bahwa menghadapkan wajah ke arah kiblat hukumnya sunah, makruh jika ditinggalkan. Apabila dihadapkan bersamaan dengan dada atau kaki, maka lebih utama.
Demikian penjelasan singkat dalam masalah ini. Semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Barakallahu fiikum jami’an.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani