Oleh: Muhammad Ishom
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
PERANAN Pak Syakur sebagai muadzin masjid sangat penting. Di bulan puasa suara adzannya ditunggu banyak orang untuk berbuka. Begitu pula waktu sahur, seruan imsaknya menjadi pedoman warga sekitar untuk mengakhiri sahurnya. Namun dari tugas-tugas itu, hal yang terberat adalah mengumandangkan adzan lima kali sehari tepat waktu setiap kali waktu shalat fardhu telah tiba. Tugas ini menuntut kedisiplinan dan keistiqamahan yang tidak setiap orang sanggup dan mampu melakukannya.
Pak Syakur memang disiplin dan istiqamah dalam tugas-tugasnya. Sebagai muadzin beliau penuh tanggung jawab. Tapi terkadang tampak seperti aneh. Sehabis mengumandangkan adzan, Pak Syakur duduk nongkrong di depan masjid. Iqamah dilakukan orang lain. Shalat berjamaah pun dimulai.
Sementara di dalam masjid shalat jamaah dilaksanakan, Pak Syakur tetap duduk-duduk di depan. Ternyata yang ia lakukan adalah mengawasi dan memastikan keamanan sekitar masjid agar tidak ada satu pun sandal, sepatu atau kendaraan milik jamaah hilang; atau ada mobil yang dibobol oleh tangan-tangan jahil.
Penulis pernah membayangkan betapa besar pahala yang didapat Pak Syakur dengan menahan diri tidak ikut berjamaah besar di dalam masjid. Pak Syakur tentu mendapat pahala dari adzan yang ia kumandangkan. Ia tentu juga mendapat pahala dari mengamankan situasi sekitar masjid. Bukankah para jamaah yang jumlahnya puluhan hingga ratusan orang itu bisa khusyu’ dalam shalatnya karena merasa cukup aman?
Jika pahala sebanyak 27 yang didapat setiap orang dari mereka yang berjamaah itu diberikan kepada Pak Syakur, teruhlah 1 saja, maka bisa dibayangkan berapa besar pahala diterima Pak Syakur jika jumlah mereka mencapai 200 orang, misalnya. Besarnya pahala itu belum termasuk pahala yang didapat Pak Syakur karena ternyata dia selalu berjamaah kecil dengan beberapa orang yang datang terlambat, atau dengan orang yang datangnya setelah jamaah shalat selesai. Prinsipnya Pak Syakur sebagai muadzin tidak meninggalkan jamaah shalat di masjid.
Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Majah:
المؤذنون أطول الناس أعناقا يوم القيامة
Artinya: “Muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya di hari Kiamat.”
Dalam Syarah Muslim, An-Nawawi menjelaskan maksud frase “athwalunnas a’naqan” dalam hadits di atas, yakni banyaknya pahala yang didapat seorang muadzin akan dilihat semua orang di akhirat kelak. Artinya seorang muadzin akan menjadi sosok yang menonjol di akhirat karena banyaknya pahala yang diterimanya dari Allah SWT.
Benar. Jangankan di akhirat kelak, di dunia saja pahala seorang muadzin sudah bisa dibayangkan karena ia berjasa besar mengingatkan kepada banyak orang, baik yang sedang sibuk maupun yang longar, bahwa saat shalat telah tiba. Ia juga membangunkan orang-orang tidur untuk shalat. Apalagi kalau muadzin itu secara suka rela bisa seperti Pak Syakur, yakni menciptakan suasana kondusif yang memungkinkan para jamaah di masjid shalat dengan kusyu’ sekaligus mencegah terjadinya pencurian di sekitar masjid. []
Sumber: Nu Online