Oleh: Arief Siddiq Razaan
MALAM minggu, malaikat sibuk mencatat kecabulan umat manusia yang menggila cinta, umbar birahi sedemikian rupa dengan pacar hingga selingkuhannya. Sebab, perilaku ‘kumpul kebo’ sudah menjadi budaya. Saatnya setan berpesta pora merayakan kedunguan pasangan yang memberhalakan nafsu dalam dadanya.
Bocah kecil saling main sentil, ngaku sama emak mau belajar bareng malah kencan dengan lawan jenis yang ngerasa seunyu ‘cindil’, ialah anak tikus berwarna merah muda yang kelak jadi sehitam upil. Si bocah kecil sudah terinveksi virus pergaulan bebas yang menjamur serupa wabah penyakit kutil. Tidak sadar kalau sudah pernah diobok-obok berarti dirinya sudah tidak orisinil.
Bagi yang kuliahan kelakuannya makin kebablasan, bukan sekadar diobok-obok bahkan pasrah main kuda-kudaan hingga tahunan. Malam minggu dijadikan sarana melepaskan kerinduan hingga rela diperangkap kemaksiatan. Kalau sudah begini betapa sakitnya orang tua yang menaruh harapan, agar anaknya bernilai tinggi dalam keilmuan, malah mengobral tubuhnya atas nama pacaran. Sungguh sebegitu keji menghianati kepercayaan orang tua yang telah dengan yakin diamanahkan.
Banyak juga yang sudah menikah, cari selingkuhan di luar rumah. Ngakunya kerja lembur tak tahunya selingkuh dengan gairah. Padahal anak dan pasangan nikah sudah menanti dengan rasa gelisah. Jika begini keadaannya sungguh teramat bubrah. Rumah tangga sudah dicemari nafsu kebinatangan yang parah. Harusnya malam minggu itu saat yang tepat kumpul di rumah. Pergunakan waktu untuk membuat bahagia terus merekah. Sebab perhatian untuk keluarga itu ibadah.
Betapa dunia makin kacau. Nafsu syahwat atas nama zina menceracau. Anehnya yang tidak punya pacar malah menggalau. Padahal jiwa-raganya terjaga serupa daun yang menghijau. Belum terpanggang gelora nafsu yang berkilau. Hingga membuat otak waras menjadi silau. Dibutakan budaya pergaulan bebas yang kian sukar dipantau. Nasihat baik hanya dianggap celoteh di masa lampau. []
Arief Siddiq Razaan, 03 Oktober 2015