Oleh: Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation, Imam di kota New York
DI saat kita berada dalam suasana yang emosional dan cenderung membawa segalanya ke garis ekstrim mungkin masanya untuk kita belajar kembali memahami segala sesuatu dengan “akal sehat” dan “mata imbang”.
Memang di saat fanatisme meninggi karena ragam faktor, termasuk faktor politik, akal cenderung dikecilkan bahkan dikucilkan. Akibatnya penglihatan menjadi sempit bahkan kabur melihat titik-titik cahaya (kebenaran).
BACA JUGA: Imam Shamsi Ali Masuk Daftar 50 Orang Paling Berpengaruh di Queens
Masih terngiang di benak saya sekitar 9 tahun lalu (2010), ketika itu di Amerika isu Syariah menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan. Para petinggi politik, khususnya kalangan Republikan, menjadi pahlawan anti Shariah yang getol.
Salah satunya adalah Newt Gingrich, mantan Speaker of the House (Kepala DPR Amerika). Lucunya justru Speaker Gingrichlah yang pertama kali memberikan izin kepada pegawai Muslim di Kongress Amerika untuk melaksanakan Jumatan di gedung Capitoll Hill. Jumatan adalah bagian terpenting dari Syariah.
Beban kepada warga Muslim Amerika cukup berat dengan politisasi Syariah ini. Mungkin salah satu contoh terdekatnya adalah ketika komunitas Muslim berupaya mendirikan masjid dekat Ground Zero. Masjid ini mereka kampanyekan sebagai simbol kemenangan komunitas Muslim sekaligus Markaz penegasan Syariah.
Akibatnya masyarakat Amerika bangkit dan melakukan resistensi terhadap rencana pendirian masjid tersebut. Di New York misalnya 70 persen penduduk kota dunia itu menentangnya.
Saya menilai penyebab sebagian warga Amerika menentang dan takut dengan Syariah ini karena mereka memahaminya berdasarkan pemahaman dan defenisi kaum radikal. Karenanya mereka selalu memberikan contoh dengan contoh-contoh kasus. Salah satunya adalah contoh pemahaman Syariah di Afghanistan oleh kelompok Taliban.
Alhamdulillah sejak beberapa tahun ini kata Syariah tidak lagi menjadi isu yang ditakutkan. Sebaliknya di mana-mana praktek Syariah tumbuh menjamur. Dari restoran halal, tokoh makanan halal, hinggga ke Islamic mortgage dan fanance (keuangan dan perbankan) digandrungi. Bahkan di saat terjadi keambrukan perbankan di Eropa sistim keuangan halal tetap booming (tumbuh).
Isu khilafah
Selain isu Syariah, di dunia Barat dan Amerika khususnya, kata Khilafah juga menjadi kata yang sangat menakutkan. Kata ini bahkan menjadi sebuah kata yang identik dengan kejahatan yang menakutkan. Dunia seolah diingatkan bahaya laten yang dianggap ancaman global (global threat).
Saya menghindari membahas masalah ini secara ilmiah. Bahasan ilmiah seringkali menambah kekisruhan intelektialitas dan kebingungan publik. Karenanya saya hanya ingin membuat catatan yang saya sebut catatan nakal.
Kenapa catatan nakal? Karena catatan saya ini boleh jadi ditolak oleh dua pihak. Baik yang mengusung konsep khilafah. Dan juga yang menolak konsep khilafah.
Saya memulai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Din Syamsuddin. Bahwa kata khilafah sesungguhnya tidak pernah disebutkan secara langsung dalam teks-teks keagamaan. Yang ada adalah kata khalifah, yang berarti pelaku “khilafah”.
Namun demikian, penyebutan kata “khalifah” dalam Al-Quran, konteksnya bukan pada substansi khilafah yang difahami secara luas oleh banyak kalangan saat ini. Tetapi sekedar penamaan dari makhluk yang kemudian dikenal sebagai “manusia” (Baca Al-Baqarah ayat 30).
Lalu dari mana dan apa makna khilafah?
Saya juga tidak bermaksud membahas panjang dan detail mengenai hal ini. Toh sekali lagi tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Melainkan sebuah catatan, bahkan catatan nakal.
Khilafah adalah sebuah pengistilahan untuk sebuah sistim pemerintahan. Saya tidak melihatnya banyak berbeda dari sistim-sistim yang lain. Bedanya ada pada filosofi dan tafsiran filosofi itu sendiri.
Sebagaimana sistim pemerintahan demokrasi yang non monolithic, khilafah sesungguhnya juga bisa difahami demikian.
Dalam sistim demokrasi ada demokrasi liberal yang diperlakukan oleh dunia sekuler barat misalnya. Tapi ada juga sistim demokrasi agama (Islam) seperti Pakistan dan Iran. Dan jangan lupa kita bangsa Indonesia mengenal demokrasi yang lebih unik; demokrasi Pancasila.
Kalau saja kita memahami memahami demokrasi dengan akal sehat dan penglihatan yang imbang seperti itu, alangkah baiknya jika konsep khilafah juga kita fahami demikian.
Artinya kata “Khilafah” adalah kata umum untuk sistim pemerintahan yang pernah diperlakukan pada masa tertentu. Dan sistim itu boleh jadi juga memilki bentuk dan implementasi yang berbeda. Yang mengikat antara satu bentuk dengan bentuk lainnya adalah keterikatan agama.
Bahwa khilafah dalam bentuknya yang ragam itu diikat oleh ikatan wahyu samawi. Namun wahyu yang kita maksud itu dapat dipahami dan ditafsirkan berdasarkan konteks masing-masing masyarakat dunia.
Jika kita fahami secara literal dan ekstrim maka konsep Khilafah melahirkan konsep Islamic State ala ISIS. Konsep khilafah yang merefresif minoritas misalnya.
Tapi jangan lupa catatan tinta emas sejarah menyatakan bahwa pemerintahan Khilafah pulalah yang memberikan perlindungan penuh kepada minoritas di masa lalu.
Sistim pemerintahan khilafah itu juga yang menjadikan gereja-gereja besar di bumi Syam masih tegak hingga hari ini. Dengan Khilafah itu Umar bin Khatthab menghadirkan sense of justice (rasa keadilan) kepada kelompok minoritas di Mesir.
Intinya adalah tergantung sesungguhnya bagaimana memahami dan menafsirkan kata “khilafah” itu. Jika dipahami dengan memakai akal ISIS akan melahirkan konsep ISIS.
Oleh Karenanya jangan terkejut. Bangsa Indonesia sesungguhnya justeru bisa memahami konsep Khilafah dalam konteks “Indonesia” yang berdasar Pancasila.
Karenanya dalam menyikapi isu khilafah hendaknya dihindari penafsiran ekstrim ini. Dalam konteks negara Indonesia, asal saja konsisten dengan semangat “founding fathers” yang tertuang dalam falsafah dan dasar negara sejatinya secara substantif sudah sejalan dengan khilafah.
Khilafah itu terbangun di atas Kalimah Tauhid dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Semangat ini sejatinya sudah tersimpulkan dalam sila-sila Pancasila.
Lalu bagaimana dengan konsep pemerintahan khilafah global?
Jawabannya adalah konsep global itu lebih kepada ikatan emosional yang tertuang dalam konsep wihdatul ummah (one community) dan ukhuwah Islamiyah.
Bahwa umat Islam itu secara semangat adalah satu umat dan persaudaraan. Kesatuan umat dan ukhuwah Islamiyah itu tak akan terputuskan oleh sekedar batas-batas kebangsaan.
BACA JUGA: Imam Shamsi Ali: Religiusitas Musiman Muncul Menjelang Pilkada
Maka tidak perlulah ketakutan yang berlebihan dengan kata khilafah. Apalagi kata ini dijadikan bahan gorengan politik. Yang akhirnya hanya akan semakin memperlebar polarisasi di masyarakat kita.
Mungkin masanya dipahami bahwa bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, pemahaman tentang khilafah itu tidak kepada dari konteks keindonesian. Yaitu Negara yang berdasar Pancasila dan UUD 45. Dan keduanya dalam keyakinan umat Islam Indonesia terinspirasi oleh Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Maka kalaupun ada anak-anak bangsa yang mengagumi kata “khilafah” hendaknya jangan mudah dituduh sebagai anti Pancasila dan NKRI. Karena sekali lagi negara Indonesia adalah khilafah bagi umat Islam Indonesia.
Ingat, kita sedang berada dalam ancaman esktremisme di dua arah. Ekstrimisme kanan yang diwakili oleh ISIS di dunia Islam dan ekstrimisme kiri yang diwakili oleh White Supremacy di dunia Barat. Masanya kita menempuh jalan tengah dalam merespon isu-isu yang dihadapi oleh dunia kita. Semoga! []
- Dikutip dari akun facebook Imam Shamsi Ali