Oleh: Tia Apriati Wahyuni
JASAD wanita muda terbujur kaku di tengah rumah. Ia dikelilingi keluarga dan sanak saudara. Para tetangga datang melayat. Suara riuh dan isak tangis mengisi seisi ruangan, namun telingaku terasa tuli untuk mendengarnya. Hanya raut wajah sedih yang dapat ku lihat, itu pun samar-samar. Akhirnya, ku coba amati dengan benar-benar siapa jasad wanita muda itu?
Ternyata, itu aku.
Sempat merasa heran. Bagaimana bisa badanku tergeletak di tengah ruangan dengan mata tertutup, telinga dan hidung disumpal dengan kapas, wajah putih pucat, serta kain samping yang menutup seluruh tubuh kecuali bagian wajah?
Semuanya berlalu begitu cepat. Tetiba aku tersadar di sebuah tempat yang baru. Jika digambarkan, dinding itu bercorak hitam, merah dan orange. Corak itu menari-nari mengelilingi diri yang kebingungan.
“Ada dimana ini?”
Aku beristigfar sebanyak-banyaknya. Seraya mengingat kembali, peristiwa apa yang sedang ku alami. Berusaha berfikir keras, mengingat-ingat kembali peristiwa apa yang mengantarkan ku ke tempat ini. Hingga akhirnya, tersadar jika diri ini telah meninggal dunia. Lantas, dalam hati berbisik.
“Apakah ini alam kubur? Atau alam akhirat? Kenapa aku sendiri?”
Kembali istighfar ku ucapkan sebanyak-banyaknya. Kembali hati berbisik.
“Tapi, aku kan sudah meninggal? Artinya ruh telah melewati kerongkongan dan pintu taubat telah ditutup”
Tiba-tiba fikiran melang-langbuana, tanpa arah. Memikirkan nasib diri, yang entah akan pergi ke arah mana.
Tapi, saat ku berjalan lurus ke depan. Ada celah putih. Ku datangi celah itu. Ternyata itu awan biru yang biasa ku lihat saat di dunia. Aku mengira jika aku sedang berada di atas awan. Lantas, jika aku ingin turun ke dunia, maka aku akan jatuh dan merasakan sakit (ingin kembali ke dunia).
Tapi, setelah dilihat ternyata di bawah adalah sungai di belakang rumah. Jaraknya hanya satu meter dari tempatku berada. Selain itu, dinding berwarna yang transparan itu menjadi seperti triplek yang dapat ku buka. Akhirnya, ku buka triplek itu dan turun lalu pergi ke rumah dan mencari mama.
Ibaratnya, seperti mayat hidup berjalan yang mencari ibunya. Dengan tangan putih pucat dan dehidrasi, aku berlari mencari mama.
“Mama mama, aku hidup lagi,” sembari menghadap mama.
“Mama mama, aku mau minum dan makan biar sehat lagi.”
Peristiwa ini seperti pelajaran yang mengingatkan untuk taubat sebelum terlambat, saat ruh masih belum melewati kerongkongan, maka kesempatan itu masih ada. Harus senantiasa menjaga niat setiap amal perbuatan hanya karena Allah SWT saja. Bukan karena makhluknya.
Tetiba, suara HP berdering. Ternyata itu bapak yang hendak sholat Tahajud. Sedangkan aku? Baru terbangun dari perjalanan mimpi yang penuh dengan pelajaran dan peringatan.