LELAKI itu benar-benar sudah mengambil keputusan. Ia akan menceraikan istrinya, sebab tidak ada cinta sama sekali untuk perempuan yang dinikahinya. Pernikahannya terjadi karena musibah, awalnya dirinya berencana menikah dengan kekasihnya. Namun, satu hari menjelang pernikahan tiba-tiba kekasihnya menghilang.
Saat didatangi ke rumah, orang tuanya justru berkata, “Seharusnya anakku meninggalkanmu sejak dahulu, karena sejak awal kami tidak merestui hubungan kalian. Kami menyetujui kalian menikah karena terpaksa, tetapi akhirnya anakku sadar hidup denganmu yang hanya berpenghasilan kecil hanya akan membuatnya susah.”
Betapa terkejutnya lelaki itu saat mendengar paparan orang tua kekasihnya. Memang sebagai guru honorer gajinya sangat jauh dari kata cukup, namun dirinya yakin bisa bertanggungjawab memberi nafkah pada keluarga dengan cara mencari tambahan penghasilan dari pekerjaan lain.
Untuk menutupi rasa malu sekaligus menjaga martabat keluarga, lelaki itu dinikahkan dengan perempuan lain. Pernikahan terlaksana, namun seminggu setelah pernikahan kekasihnya muncul kembali di hadapannya.
“Maaf, Mas. Aku tidak datang dalam acara pernikahan kita, aku terhasut ucapan orang tuaku yang mengatakan hidupku akan susah apabila nekad menikah denganmu. Masa depan rumah tangga suram karena pendapatanmu belum seberapa, tetapi seminggu ini diriku merenung dan aku tak bisa melupakanmu. Itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan mengapa diriku mesti berada di sisimu.”
“Tetapi diriku sudah menikah, dirimu juga tahu itu. Lagipula bagaimana dengan orang tuamu, meski dirimu mencintaiku namun bila mereka tidak merestui akan sama saja.”
“Ceraikan istrimu, Mas. Masalah orang tuaku, biarlah aku yang mengurusnya. Bila perlu akan kuancam kalau tidak disetujui menikah denganmu, aku akan kabur dari rumah.”
Perbincangan dengan kekasihnya itulah yang membuatnya semakin bertekad menceraikan istrinya. Lagipula untuk apa mempertahankan rumah tangga apabila tidak dilandasi dengan cinta.
Lelaki itu sengaja mengunjungi ibu dan ayahnya tanpa membawa istri, dengan tujuan membicarakan niatnya menceraikan perempuan yang baru seminggu dinikahinya.
“Apa? Dirimu mau menceraikan istrimu? Atas dasar apa mau menceraikannya?”
BACA JUGA: Saat Dihadapkan dengan Rasa Takut pada Masa Depan…
“Aku tidak mencintainya, Bu. Bukankah salah satu alasan diperbolehkan menceraikan istri karena tidak ada kecocokan antara suami-istri, sehingga tidak ada cinta di antara keduanya? Aku merasa tidak cocok dengan istriku, karena tidak mencintainya.”
“Ibu rasa itu bukan alasan utama, katakan saja apa ada alasan lain.”
“Kekasihku datang menemuiku, dia bersedia menikah denganku karena itu dirinya memintaku menceraikan istriku.”
“Begitu rupanya, lalu apa lagi yang dikatakannya?”
“Dia terhasut ucapan orang tuanya yang mengatakan hidupnya akan susah apabila nekad menikah denganku, karena itu dia kabur menjelang pernikahan. Tetapi ternyata dia tidak bisa melupakanku, kemudian kembali. Bahkan dia menggaransi akan kabur dari rumah apabila niatnya menikah denganku dihalangi kedua orang tuanya, itu karena rasa cinta begitu besar kepadaku.”
Ibunya menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian terdengar beristighfar berkali-kali.
“Putraku, memang benar salah satu alasan diperbolehkan menceraikan istri karena tidak ada kecocokan antara suami-istri sehingga tidak ada cinta di antara ke duanya. Masalahnya apakah istrimu tidak mencintaimu? Ketika sudah menikah ada kesalingan, jangan-jangan hanya dirimu yang tidak memiliki cinta kepada istrimu.”
“Bagaimana mungkin istriku mencintaiku, sedangkan kami menikah karena dijodohkan.”
“Istrimu mencintaimu, maka dirinya mau menikah denganmu. Selama ini ibu tahu kalau dia menyukaimu, sebab orang tuanya pernah mendengar saat sholat malam sebelum menjadi istrimu, dia berdoa agar bisa menerima kenyataan kalau dirimu akan menikah meski dia selalu menyebutmu setiap malam dalam doanya semoga berjodoh denganmu. Ketahuilah, bisa jadi dirimu tidak berjodoh dengan orang yang dirimu cintai, sebab orang itu tidak pernah berdoa dengan tekun agar berjodoh denganmu.”
Lelaki itu terdiam. Benar juga, bagaimana kalau ternyata perempuan yang dinikahinya mencintai dirinya? Tetapi bukankah cinta sepihak saja tidak cukup kuat untuk sebuah ikatan rumah tangga?
“Putraku, penting untuk dirimu ketahui. Syarat menceraikan istri bukan semata cinta atau tak cinta. Syarat yang mesti dipenuhi antara lain, istri berakhlak jelek, istri tidak taat lagi kepada suaminya dalam hal-hal yang baik, istri tidak mampu melakukan kewajibannya, istri melakukan kemaksiatan atau dosa besar yang menyebabkan rumah tangga mengalami keadaan yang jelek. Apakah syarat-syarat itu terpenuhi?”
BACA JUGA: Percayalah Tak Ada Jomblo yang Abadi
Lelaki itu tak mampu menjawab pertanyaan ibunya. Barulah saat ibunya mengulang pertanyaan agar menjawab, lelaki itu pun menjawab. “Tidak terpenuhi, Bu. Istriku berakhlak baik, meski aku belum mau menemaninya tidur dia tetap memuliakanku sebagai suami. Saat diriku marah dengan berbagai alasan, dirinya tetap sabar.”
“Dengan demikian, gugurlah alasanmu yang berniat menceraikannya. Hal lain yang mesti dirimu pahami, kalau disuruh memilih antara ayah atau ibu dirimu pilih siapa?”
“Tentu saja pilih keduanya, Bu. Ibu dan ayah itu orang tuaku, tidak dapat terpisahkan satu sama lain.”
“Kalau begitu mengapa dirimu mau memilih seseorang yang telah meninggalkanmu daripada seseorang yang sudah Allah takdirkan menyatu denganmu dalam ikatan pernikahan dengan restu kami?”
Tak ada kata terucap. Justru saat mendengar apa yang disampaikan ibunya, lelaki itu tertunduk.
“Kalau orang tua tidak mengakui anaknya kira-kira bagaimana perasaan sang anak? Pasti menyakitkan, tadi dirimu katakan apabila orang tua kekasihmu tetap tidak merestui hubungan kalian, dia akan kabur dari rumah. Itu sama saja tidak mengakui kedua orang tuanya sendiri. Apakah perempuan seperti itu baik untuk dijadikan istri?”
Lelaki itu kian menundukkan kepala. Tak berani sedikitpun menatap mata ibunya karena khawatir akan ketahuan apabila saat ini air matanya mulai menetes.
“Di luar sana, banyak laki-laki dan perempuan yang dibutakan cinta. Rela tidak mengakui orang tuanya hanya demi nafsu mempersatukan birahi atas nama cinta, padahal orang tua tidak merestui pasti disebabkan alasan yang logis. Orang tua kekasihmu tidak merestui hubungan kalian sebab melihat anak perempuannya sudah terbiasa hidup mewah, jadi tak tega kalau seandainya menikah denganmu yang hanya berprofesi sebagai guru honorer dengan penghasilan pas-pasan. Khawatir hidup anaknya menderita. Apakah pemikiran orang tuanya salah?”
Dengan menguatkan hati, lelaki itu mencoba menegakkan kepala dan melihat ke arah ibunya.
BACA JUGA: 13, Angka Terindah Menunjuk Surga
“Jadi, apa yang harus kulakukan, Bu? Aku tidak mencintai istriku, bagaimana mungkin membangun rumah tangga tanpa cinta?”
“Jangan katakan tidak, tetapi katakan belum. Jujur saja, dari awal ibu dan ayah melarangmu pacaran. Khawatir saat tidak berjodoh dirimu akan menjadi pesakitan cinta yang sukar disembuhkan. Kekhawatiran kami terbukti, kini belajarlah menerima kenyataan bahwa apa yang terbaik menurutmu belum tentu yang terbaik menurut kehendak Allah. Belajarlah mencintai istrimu lebih tekun, sebab sebelum menikah denganmu istrimu belajar dengan tekun mencintaimu lewat doa-doanya agar berjodoh denganmu, Allah mengabulkan doanya. Kini saatnya dirimu berdoa dan bekerja untuk mencintai istrimu hanya karena Allah.” []
Arief Siddiq Razaan merupakan nama pena dari Dani Sukma AS, seorang dosen dan penggiat literasi yang mendirikan Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)