Cintakah yang membuatnya membiarkan luka itu menimbun airmata?
AKU baru saja mengecek file dokumen yang akan segera dikirim ke pusat. Jam masih lumayan pagi, beberapa hari ini matahari sudah tampak tersenyum menyapa kampung kami. Maklum, beberapa waktu terakhir asap memang menyelimuti hari yang kami jalani.
Mataku yang sudah mulai bermasalah dengan jarak pandang jauh menjadikan diri sebagai orang yang semakin cuek dengan lingkungan. Aku mendengar suara kereta – sebutan untuk sepeda motor bagi orang Medan – berhenti di parkiran kantor yang tak seberapa luas. Aku sempat melirik sekilas, lalu menundukkan pandangan. Khawatir jika tamu itu tersenyum, namun karena pandangan yang kurang jelas ini hanya berbalas tatapan wajahku yang jutek.
Semakin dekat aku mendengar langkah itu masuk. Ah, ternyata dia teman sekolahku, sejak SD hingga SMA satu kelas. Anaknya kini sudah dua. Dia menikah ketika aku masih menjalani semester tiga masa kuliah.
“Ada apa, Lis?”
“Aku mau minta buatkan surat talaq, bisa?”
Aku menggelengkan kepala. Sebenarnya masalah ini sudah kudengar dua tahun lalu.
“Aku panggil Ibu saja ya.” Maksudnya memanggil Ibu yang senior bekerja di kantor ini.
Dua anaknya terlihat sehat dan lincah. Aku bahkan gemas dengan anaknya yang kecil, badannya begitu montok, mirip dengan bintang iklan sufor.
“Ada masalah apa?” tanya Bu Boru.
KUA bukan hanya menangani masalah pendaftaran nikah, di sini juga terdapat BP4 yang mencakup ruang lingkup menangani perselisihan keluarga. Memang lebih baik menceritakan masalah pada tempatnya agar tidak timbul masalah baru.
“Aku mau cerai, Bu. Bisa minta buatkan surat talaq?”
Lalu Bu Boru menjelaskan, bahwa kami tidak menangani mengenai perceraian. Hanya membantu mencari solusi terhadap pernikahan yang sedang dilanda masalah.
“Masalahmu sebenarnya apa? Mungkin kita bisa cari penyelesaian yang lebih kekeluargaan sifatnya.”
Lisna, nama temanku tadi, menceritakan bahwa suaminya sudah sering melakukan KDRT. Sering keluar malam untuk minum maupun judi. Pulang menjelang subuh sehingga siang hari dijadikan sebagai waktu beristirahat.
Aku tak tega melihat dia menahan sesak atas perlakuan suaminya. Aku mengenal betul temanku ini. Wanita manapun takkan kuat bila lahir batinnya tersiksa begini. Aku memutar ingatan ke beberapa waktu sebelum dia lamaran dulu. Siang itu dia menelpon mengabarkan akan segera menikah.
“Kenapa terlalu cepat, Lis?”
“Untuk apa menunggu lagi jika sudah ada yang mau,” jawabnya kala itu.
“Apa alasanmu memilih dia?” tanyaku diplomatis. Aku memang terbiasa cerewet jika bercerita soal pasangan hidup.
“Dia ingin aku mengajarinya shalat juga mengaji. Bukankah ini baik? Katamu menjadi ladang amal.”
Saat itu aku cuma tertawa kecil menanggapinya. Sekarang terbukti menikah itu bukan seberapa cepat, tapi waktu dan dengan orang yang tepat. Sekalipun sudah ada dan niatnya baik, bukankah lebih baik melibatkan Allah dulu? Lelaki itu telah melupakan alasan yang diungkapkannya ketika memilih temanku sebagai calon istri.
Aku masih mendengarkan semua keluhannya. Yang tak bisa kubayangkan adalah bagaimana kondisi kejiwaan anaknya kelak jika mereka benar akan berpisah, tapi pernikahan yang di dalamnya terjadi kedzoliman juga hukumnya haram.
Ah, wajah itu sungguh kasihan. Kami dua sisi yang saling iri satu sama lain. Mungkin dia ingin sepertiku yang masih bisa tertidur tenang dan punya penghasilan. Sedang aku pernah juga merasa iri dengannya yang mendahuluiku menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Hari ini dia membuka mataku lewat airmata yang kian mengalir. Lewat dua bocah yang tak bersalah dan mungkin akan menjadi korban keegoisan lelaki tak bertanggung jawab.
Aku bermain-main dengan pikiranku seraya tangan tetap mengecek file. Pernikahan adalah rumah impian yang semestinya dibangun atas dasar penuh harap ridha-Nya. Bangunan yang didirikan dengan tanggung jawab. Di dalamnya terdapat kisah tentang cinta, kasih sayang dan rasa yang nyaman. Di mana letak sakinah jika tangan itu sanggup melukai wajah wanita yang menjadi pasangannya dalam buku kembar hijau-merah?
Aku lalu membayangkan bagaimana hari-hari yang dia jalani lewat potongan dialog kesedihan. Melewati semuanya tanpa bisa berbagi meski dengan orangtua maupun mertua. Bagaimana jika hari yang harus dilewati makan nasi tanpa lauk?
“Tidak ada sayur, uang sudah habis.”
Sebuah umpatan keluar dari mulut suaminya, mengujarkan dia tak becus mengatur keuangan rumah tangga. Padahal dia tahu betul jumlah nominal yang diberikan itu tak cukup. Kemudian pekerjaan rumah yang lain juga tidak bisa terselesaikan.
“Sabun juga habis, aku tidak punya uang untuk membeli.”
Satu umpatan lagi dia terima, mengatakan kalau jangan hanya berdiam diri di rumah. Mestinya bekerja dan membantu suami yang pontang panting. Sementara menurut pengakuan, sang suami pulang subuh dan tidur siang hari. Maaf kata, ingin buang air saja dia tidak bisa menggantikan memomong anak kedua mereka yang sedang aktif belajar jalan. Bagaimana jika ditinggal bekerja?
Lewat sayu mata itu aku kembali belajar. Bahkan sebelum dia datang ke kantor tempatku menjemput rezeki, aku sudah banyak memetik hikmah dari pernikahan yang (mungkin) gagal. Aku memeluknya penuh iba, ada doa yang kulangitkan semoga saja menggemparkan hati milik para suami yang lupa janjinya dalam sighat taklik. Sebab kutahu, lelaki yang berakhlak tidak akan mendzolimi istrinya. []
“Nikahkanlah putrimu dengan yang paling bertakwa di antara mereka, karena jika orang yang bertakwa itu mencintai anakmu maka dia akan memuliakannya dan jika dia tidak mencintai putrimu maka dia tidak akan mendzoliminya.”
Asahan, 03/11/2015
Mawar Dani, pegiat tulis berdomisili di Asahan. Berjuang memuliakan hidup melalui jejakan pena.