BANYAK penulis Barat yang mengakui Ibnu Khaldun sebagai pakar sejarah dan sosiologi modern. Salah satu karya besarnya, “Muqaddimah” merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial yang masih terus dikaji dan ditelusuri oleh pakar-pakar sejarah, kalangan sosiolog dan antropolog hingga saat ini.
Dalam karya monumentalnya itu, Ibnu Khaldun membedah karakteristik manusia yang terpengaruh oleh faktor lingkungan secara geografis. Selain bicara soal pengaruh ekonomi dan politik di tengah masyarakat, ia pun mengulas hal-hal yang bersifat pedagogik, hingga fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia mampu mengulasnya bagaikan kita membaca karya sastra antropologi yang mengalir dengan bahasa fasih dan mudah dimengerti. Sungguh menakjubkan karya yang lahir di abad ke-14, namun dengan lengkap menerangkan hal ihwal mengenai ilmu sejarah, sosiologi, hingga membahas tentang musnahnya peradaban dalam suatu negeri melalui kacamata sosiologi modern.
Ibnu Khaldun meyakini bahwa setiap negara bangsa akan bergantung pada perintis, pendiri atau bapak bangsa yang melahirkannya. Lalu, disusul oleh generasi kedua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan oleh generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ketiga yang tumbuh menuju kemakmuran, dan boleh jadi terbujuk oleh rayuan materi dan kebendaan. Sehingga, sedikit demi sedikit pondasi spiritual melemah, sampai kemudian negara itu runtuh. Keruntuhan itu sangat terkait dengan kelemahan secara internal, hingga kemudian keropos dan mudah disusupi faktor-faktor eksternal.
Keruntuhan dinasti Umayah dan Abbasiyah menjadi kajian serius dan mendalam pada karya-karyanya. Untuk itu, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial hingga politik Islam. Membaca karyanya secara intens, membuat kita terbawa ke tengah peradaban masa lalu, bagaikan membaca ilmu firasat dan ramalan tentang suatu kejadian politik yang terhubung dengan era kekinian dan keindonesiaan.
BACA JUGA: 6 Bab dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun, Bapak Sosiologi
Dasar pendidikan Islamnya, khususnya tafsir Alquran sejak usia dini, membuat Ibnu Khaldun sangat fasih mengkaji kebangkitan, hingga runtuhnya suatu peradaban berdasarkan sistem kekhilafahan. Ketajaman analisisnya, sangat terkait erat dengan penguasaannya tentang Alquran dan hadis Nabi yang sejak kecil digelutinya. “Pendidikan Alquran akan memperkuat iman kita, ia dapat menjadi pedoman yang baik sebelum kita mempelajari cabang-cabang ilmu lainnya,” tegas Ibnu Khaldun.
Runtuhnya Peradaban
Menurut Ibnu Khaldun, generasi perintis pada era dinasti Umayah maupun Abbasiyah masih bisa diandalkan. Namun kemudian, generasi penerusnya (anak-cucu) seringkali bermasalah, seperti apa yang dialami oleh dinasti Raja Harun Ar-Rasyid. Di antara mereka banyak orang saleh yang paham agama, namun hanya pemahaman yang lateral dan tekstual semata. Lantaran pemahaman agama yang setengah-setengah, mereka mudah tergoda pada nafsu kekuasaan dan kekayaan duniawi.
Karena keteledoran itulah, maka Allah mencabut hak atas kepemimpinan dari bangsa Arab, kemudian mengizinkan bangsa-bangsa lain untuk merajai dunia (adidaya).
Secara religius, kita bisa menarik kesimpulan bahwa apa yang dinyatakan Ibnu Khaldun perihal keruntuhan peradaban Islam, tak lain karena ulah para penguasanya sendiri. Untuk itu, bagi siapa yang menelusuri perjalanan sejarah Islam, maupun bangsa-bangsa lain, takkan lepas dari ketajaman analisis Ibnu Khaldun yng telah dikaji sejak berabad-abad lalu.
Ibnu Khaldun pernah mengutip pernyataan Abu Jafar al-Mansyur, perihal apa yang menyebabkan runtuhnya Bani Umayah: “Khalifah Abdul Malik dan Khalifah Sulaiman itu, keduanya hanyalah penguasa yang mata duitan. Mereka hanya sibuk mementingkan isi perut dan kelaminnya saja.”
Era Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah kemudian mnggantikan dinasti Umayah yang tidak lagi amanah. Menurut Ibnu Khaldun, para penerus dinasti Umayah tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemimpin muslim yang baik. Lantaran memuaskan ego dan hawa nafsunya (hedonis), Allah pun meninggalkan mereka setelah mengenakan baju kehinaan di tubuh mereka.
Terkait dengan itu, Abu Jafar al-Mansyur pernah memanggil Abdullah bin Marwan yang melarikan diri ke perbatasan antara Mesir dan Sudan. Daerah itu menjadi kekuasaan kaum Nasrani yang dipimpin Raja Nubia. Di situlah Ibnu Marwan yang korup meminta perlindungan dari pengejaran Khalifah As-Saffah (dinasti pertama Abbasiyah) yang akan menyeretnya ke pengadilan.
Secara mendetil, Ibnu Khaldun menuliskan dialog antara Ibnu Marwan dan Raja Nubia:
“Kenapa Anda minum anggur yang dinyatakan terlarang dalam agama Anda,” tegur Raja Nubia.
“Yang minum anggur di tenda itu adalah pengawal saya,” jawab Ibnu Marwan.
Lalu, sang Raja bertanya lagi, “Kenapa di perjalanan Anda memakan hewan yang terlarang, bahkan merusak tanaman milik orang lain?”
BACA JUGA: 3 Pilar Ekonomi Islam Menurut Ibnu Khaldun
Kemudian jawab Ibnu Marwan, “Yang makan hewan ternak dan merusak tanaman juga budak-budak saya.”
“Lalu, kenapa Anda mengenakan pakaian emas dan sutera seperti ini?”
Ibnu Marwan masih juga berdalih: “Kerajaan kami direbut oleh bangsa Persia yang non-Arab. Mereka masuk ke wilayah kerajaan kami dengan memakai baju sutera dan emas, tetapi sebenarnya kami tidak menyukainya.”
Mendengar semua jawaban klise itu, akhirnya Raja Nubia berkata, “Ya sudah, kalian boleh tinggal selama tiga hari, setelah itu silakan angkat kaki dari sini. Sebab, bila Tuhan menimpakan azab kepada kalian karena menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, boleh jadi kami pun akan terkena kutukan-Nya.”
Dari berbagai kutipan perihal perjalanan kepemimpinan khalifah di masa lalu, nampak kecerdasan Ibnu Khaldun ketika memilah-milah persoalan yang paling prinsipil bagi karya-karya tulisnya. Tulisan-tulisannya dikenal jujur terhadap kenyataan dan fakta sejarah masa lalu, tanpa tendeng aling-aling. Jika generasi terbaik di masa lalu tidak tahan godaan duniawi dan syahwat kekuasaan, lalu apa jaminannya ketika anak-anak muda konservatif ikut terlena mengkafir-kafirkan sistem demokrasi saat ini. Mengapa sebagian mereka teriak-teriak untuk mendirikan sistem khilafah, tanpa memahami esensi sejarah kepemimpinan Islam yang sesungguhnya?
Saat ini, masih banyak yang genit dan latah menyebutkan fakta kehebatan khilafah masa lalu sebagai solusi masa kini. Namun, khilafah yang mana dulu? Di era kekhalifahan yang mana? Sebab, boleh jadi dalam pandangan Tuhan, lebih berbahaya orang yang menjual agama demi untuk kepentingan syahwat dan nafsu duniawi. Ketimbang orang yang belum paham agama, sampai kemudian menyadari segala kesalahan dan kekhilafannya di masa lalu.
BACA JUGA: Ketika Ibnu Khaldun Memprediksi Hubungan Micin dengan Perilaku Masyarakat
Pada akhirnya, ingin saya tegaskan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun memang piawai dalam membedah perilaku manusia, baik secara sosiologis maupun antropologis. Ia pun dikenal jenius dalam mengamati akhlak para penguasa dari zaman ke zaman. Sejak masih usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar luas ke mana-mana. Ketika beranjak dewasa, ia terus menekuni dunia literasi dengan ketajaman imajinasi yang luar biasa. Ia pun sempat menulis otobiografi tentang perjalanan hidupnya secara sastrais dan antropologis dalam judul, “At-Ta’rif bi Ibni Khaldun”.
Lelaki jenius kelahiran Tunisia pada 27 Mei 1332 (732 Hijriyah) ini, selain dikenal luas sebagai perintis cikal-bakal sosiologi modern, ia pun dikenal sebagai pakar politik dan ekonomi Islam. Ia mahir membaca tanda-tanda zaman, bahkan sanggup berkarya secara visioner hingga melampaui zamannya.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang teori ekonominya juga dinilai banyak kalangan sangat logis dan realistis. Bahkan, jauh sebelum Adam Smith (1723-1790) mengungkap teori-teori ekonomi modern yang dianggap paling mutakhir. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.