NOVEMBER 2020 lalu, sejarah tertulis di Myanmar saat 2 caleg muslim yang merupakan etnis minoritas di negara tersebut terpilih sebagai anggota legislatif.
Mereka memenangkan pemilu legislatif di tengah gelombang hasutan dan ujaran kebencian terhadap minoritas. Kaum Muslim hanya mewakili empat persen dari jumlah total populasi Myanmar. Kebanyakan beretnis Rohingya dan sering mengalami diskriminasi, atau menjadi korban persekusi.
Sithu Maung adalah satu dari dua caleg Muslim di antara 1.100 kandidat yang diajukan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Dalam pemilu legislatif lima tahun lalu, partai pimpinan Aung San Suu Kyi itu tidak mencalonkan seorangpun caleg Muslim. Demikian laporan yang dikutip dari DW Indonesia, Rabu (11/11/2020).
Bagi Sithu, perolehan suara sebanyak 80% untuk daerah pemilihannya di pusat kota Yangon, merupakan sebuah pengakuan.
“Warga merayakan (kemenangan), mereka meneriakkan nama saya dari dalam apartemennya ketika saya sedang lewat,” tuturnya kepada kantor berita AFP.
BACA JUGA: Terkait Rohingya, Ini Sederet Tuntutan Organisasi Internasional terhadap Myanmar
Konstituen di dapilnya yang berjumlah populasi 30.000 tergolong paling multietnis di seluruh penjuru negeri. Demografi pemilih terbagi antara mayoritas penganut Buddha dan warga Muslim, serta penduduk dari Rakhine, warga keturunan Cina atau India.
“Saya bekerja untuk penganut semua agama, terutama mereka yang mengalami diskriminasi, dianiaya atau direnggut hak asasi manusianya,” kata dia.
Sithu Maung menolak diseret ke arah isu persekusi Rohingnya yang membayangi kepemimpinan Suu Kyi di mata dunia internasional.
Saat ini sekitar 600.000 penduduk Rohingya masih bertahan di Myanmar. Mereka hidup di dalam “kondisi apartheid” seperti digambarkan oleh kelompok HAM.
Di Myanmar, warga muslim atau etnis minoritas lain, kesulitan mendapat status resmi sebagai warga negara. Sithu Maung sendiri harus menunggu selama bertahun-tahun sebelum mendapatkan Kartu Identitas Penduduk, yang mencatat statusnya sebagai “etnis campuran.”
“Mereka yang belum pernah mengalaminya tidak bisa mengerti bagaimana rasanya,” kisahnya.
Sebagaimana lazimnya, warga minoritas ditempatkan di jalur birokrasi berbeda untuk mengajukan permohonan mendapat KTP, dan sebabnya rentan terhadap praktik suap.
Pada pemilu 2015, pencalonan Sithu sebagai caleg NLD dibatalkan menyusul sentimen antimuslim yang marak digelorakan kelompok nasionalis Buddha garis keras. Saat itu tidak seorang muslim pun bertengger di dalam daftar calon anggota legislatif.
Tahun ini pun sebanyak 23% kandidat muslim ditolak, dibandingkan 0,3% pada kelompok agama lain, menurut temuan International Crisis Group yang memantau jalannya pemilu di Myanmar.
“Orang-orang mulai menyebarkan informasi palsu,” tutur Sithu mengenang proses nominasi di NLD, “Mereka menyebut saya teroris dan ingin memaksakan bahasa Arab agar diajarkan di sekolah.”
“Bahkan sebagian muslim mengkritik saya, menuduh saya tidak cukup beribadah dan menjadi atheis atau kafir,” lnjutnya.
Hasutan serupa dikabarkan membanjiri Facebook, terutama jelang Pemilu.
BACA JUGA: Demi Bertahan Hidup Selama Lockdown, Warga Miskin Myanmar Terpaksa Makan Ini
Sithu mengaku butuh waktu bertahun-tahun mempertebal rasa malu demi menyiapkan diri bekerja sebagai anggota legislatif Myanmar dengan statusnya sebagai warga muslim.
Meski demikian, Sithu tidak akan menjadi satu-satunya anggota legislatif muslim di negeri Buddha tersebut.
Caleg dari NLD lain, Win Mya Mya, yang berusia 71 tahun juga memenangkan mandat di dapilnya di Mandalay.
Analis politik di Yangon, David Mathieson, mengatakan kemenangan kedua caleg muslim menyiratkan harapan baru di Myanmar, meski partai NLD masih harus menanggulangi “diskriminasi terhadap muslim dan minoritas lain yang mengakar dalam” di tubuh masyarakat dan pemerintah.
Sithu Maung sendiri menolak memosisikan diri dalam konflik rumit tersebut. Sebagai caleg, dia berjanji akan melayani semua, tidak hanya akan melayani warga muslim saja.
“Jika salah seorang konstituen saya merasa dirugikan atau mengalami ketidakadilan, saya akan bela mereka.” []
SUMBER: DW INDONESIA