SAYA mau bercerita tentang istri saya. Dan cilok. Bagi yang belum tau apa itu cilok, itu an Indonesian ball-shaped dumpling made from aci (tapioca starch). In Sundanese, cilok is an abbreviation of “aci dicolok” or “poked tapioca”, since the tapioca balls are poked with lidi skewers made from the midrib of the coconut palm frond. Naon sih eta? Ya itu deh pokona mah…
Suatu hari, istri bilang kepada saya, “Aku teh, udah sejak dua minggu yang lalu, pengen banget makan cilok. Itu cilok yang depan PGSD.”
“Hah, terus?” tanya saya.
“Ya mau minta sama kamu, aku malu…”
BACA JUGA:Â Ngomel
Saya diam. Garuk-garuk kepala yang nggak gatal. Biasanya, saya suka aja kalau pulang kerja, dan lagi ada sedikit rejeki, tanpa pernah nanya, beliin satu makanan kesukaan dia. Tapi emang, ga pernah dia minta duluan.
Begitulah, selama 19 tahun pernikahan kami, sedikit sekali yang pernah dia minta pada saya. Jajan, misalnya.
Anak perempuan pertama saya, sekarang kelas 3 SMA, kalau libur, aja ada yang dia minta. Seblak. Bakso, atau apa kek. Walau dia selalu minta dibeliin pake uang sendiri (karena lumayan dah nyambi-nyambi di sahabat saya, punya uang sendiri), saya beberapa kali bilang pada dia, “Kamu mah ih, minta ini itu. Kamu tau ga, tuh liat ibumu, sampe sekarang, jarang banget, malah ga pernah minta sama ayah…”
Anak saya ngiyem aja digituin.
Sewaktu saya tanya pada istri, kenapa dia jarang sekali meminta, bahkan sampai detik ini, dia ga pernah sekalipun minta uang sama saya, atau nanyain kapan gajian, dia jawab, “Aku malu…”
BACA JUGA:Â Kue Kiriman, Dimarahi 2 Kali
Mungkin jawaban itu naif. Atau receh. Tapi buat saya, itu yang menjadikannya, menjadikan pernikahan kami, begitu indah, walau sederhana. Ada hal-hal yang tak pernah bisa diungkap. Dan selalu terbiar seperti itu.
Akhirnya, pada satu Rabu yang penuh dengan hujan, cilok itu kebeli juga. Cuma sampe rumah, makanan itu hanya dimakan sedikit, karena perut udah terlampau kenyang oleh nasi padang dinikmati bersama adik kelas yang kebetulan bertemu siang itu. []