Oleh: Rahmat Saputra
HIDUP di dunia hanya sementara. Setiap manusia yang hidup akan digantikan pada generasi setelahnya. Dalam menjalani kehidupan yang sebentar ini, pasti manusia membutuhkan harta. Dimana terkumpul di dalamnya kebutuhan untuk menyambung hidup dan mendapatkan rumah untuk ditinggali.
Jika mau dibandingkan, kebutuhan manusia terhadap harta, dengan kebutuhan manusia terhadap ilmu Allah hampir seimbang. Bahkan posisinya lebih tinggi dari pada kebutuhan harta. Karena harta sejatinya hanya menghidupkan badan/tubuh, sedangkan ilmu Allah adalah asupan gizi pada ruhiyah, ruh dari jasad. Tanpa ruh, jasad tak berguna.
Jika ruhnya baik dan sehat, maka jasadpun akan sehat dan baik. Namun jika ruhnya sakit, tubuhpun akan sakit pula. Lebih spesifik lagi bahwa yang mengendalikan ruh, baik atau buruknya adalah hati. Disitulah barometer seorang dikatakan baik atau buruk.
Memang ada anjuran kita mencari harta sebagai jembatan untuk keberlangsungan hidup.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi ,” (Al Qashash : 77).
Bahkan Rosullullah menilai seseorang itu baik, tatkala makan dari hasil keringatnya sendiri.
Dari Miqdad r.a, dari Nabi ﷺ. “Tidaklah seseorang memakan makanan pun yang lebih baik daripada ia makan dari pekerjaan tangannya. Dan bahwa Nabiyallah Daud A.S. makan dari pekerjaan tangannya.”
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ. bahwa Nabi Daud AS tidak makan kecuali dari pekerjaan tanganya.
Dari Abi Ubaid Budah Abdurarahman, budak Abdurrahman bin Auf, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah R.A. berkata, Rasulullah ﷺ . bersabda, “Salah seorang dari kalian lebih baik mengantar sesuatu barang di atas punggungnya (menjadi kuli) itu lebih baik daripada ia meminta kepada seseorang, lalu ia memberinya atau tidak memberinya.”
Namun, ada rambu-rambu di mana seorang harus memperhatikan batasan dalam mencari harta. Jika melewati rambu itu, maka bisa dipastikan fitnah syahwat akan mulai menguasai. Islam tidak melarang seorang yang mencari harta banyak. Islam hanya memberi batasan, jangan sampai berambisi kepada dunia. Semua pikirannya untuk dunia. Setiap langkahnya hanya untuk dunia dan dunia. Mengumpulkan harta hingga lupa bahwa ada kewajiban-kewajiban yang seharusnya ditunaikan. Ada harta orang lain di dalam harta yang selama ini dicari. Yaitu harta yang harus di sedekahkan kepada yang membutuhkan.
Harta adalah fitnah terbesar pada zaman ini. Banyak orang ingin memburunya hingga menghalalkan segala cara. Semua batasan diterjang, sudah kebal dengan perintah dan larangan Allah, hanya agar mendapatkan harta. Padahal hakekatnya harta yang dipakai sehari-hari hanya tiga. Sebagamana rosulullah mengingatkan,
“Seorang hamba berkata, ‘Hartaku, hartaku.’ Sesungguhnya harta ia miliki ada tiga: Apa yang ia makan sehinggalah habis, apa yang ia pakaikan sehingga usang, atau apa yang ia sedekahkan hingga ia kumpulkan (untuk akhiratnya). Adapun selain itu, akan pergi dan ia tinggalkan untuk manusia.” (HR Muslim no.2959).
Kenapa para salafushalih yang memiliki kelebihan harta tidak begitu cinta terhadap harta, walaupun sebenarnya dunia seolah terbuka untuk mereka? Sebabnya adalah dunia diletakkan ditangan, sedangkan akherat di hati mereka. Dunia dilepas begitu mudah sebab hanya ada pada genggaman. Sedangkan akherat susah, bahkan tak mungkin akan dilepas, karena telah menyatu didalam hati.
Maka wajar saja saat melihat manusia yang memiliki banyak harta namun pelit untuk membelanjakannya di jalan Allah. Karena sejatinya dunia telah berada dalam hati mereka. Sehingga saat akan melepaskannya, sangat berat, bahkan sebagian mereka tidak akan mungkin menshadaqohkan harta hasil jerih payah mereka kepada orang lain.
Ini juga yang menjadi sebab kenapa Qorun diadzab oleh Allah. Padahal sebelum kaya ia termasuk hamba yang shalih. Namun saat ia diingatkan oleh Nabi Musa agar selalu bersyukur, dan sadar bahwa kekayaan itu atas karunia Allah, Qorun mengatakan bahwa semua hartanya adalah dari hasil jerih usahanya sendiri.
Lantas Allah pun mengadzab dengan menenggelamkan seluruh harta termasuk Qorun dan seluruh pembantunya. Ia lupa, bahwa semua itu adalah pemberian Allah. Dan itu semua hanyalah titipan, yang suatu saat akan diambil oleh pemiliknya.
Tidak bisa dipungkiri dan memang fitrah bahwa manusia mencintai perhiasan dunia, salah satunya harta. Tapi kecintaan yang berlebihan akan membawa seseorang dimana dia akan tenggelam kedasar lautan yang jauh dari cahaya Allah. Tidak akan bisa mendapatkan cahaya itu kecuali mengurangi takaran cinta terhadap harta.
Hati ibarat gelas kosong. Jika dia dipenuhi dengan air kecintaan dunia, maka tidak ada sedikitpun air kecintaan kepada Sang Penguasa. Air selainnya akan tumpah dan tidak bisa masuk gelas karena terpenuhi oleh air cinta terhadap dunia.
Begitu juga dengan kita. Tidak akan bisa seseorang yang cinta terhadap dunia dengan berlebihan, namun disisi lain ia mengaku cinta kepada Allah. Itu adalah hal yang mustahil. Karena orang yang telah cinta dunia secara berlebihan, ia akan mudah dikendalikan oleh Syaitan. Hatinya telah penuh cinta kepada dunia. Tanpa sadar, cinta kepada Allah telah bergeser. Dan mudah tunduk terhadap rayuan syetan.
“Setan hanya dapat mempengaruhi dan membahayakan manusia yang berhati kosong dari keterkaitan dan cinta pada Allah. Orang seperti itu tidak punya pelindung dari pengaruh setan. Maka dengan mudah mereka tunduk pada setan seperti tunduknya seseorang pada temannya.” (QS. An-Nahl: 100)
Maka, jadikan dunia hanya digenggaman, dan akherat selalu di hati. Agar hati tidak condong terhadap harta dan dunia.
Wallahu a’lam.