Oleh: Muhammad Pizaro
Jurnalis Kemanusiaan
KISAH cinta Sayyid Quthb adalah catatan yang penuh haru sekaligus membanggakan. Ribuan pena dan limpahan kertas tampaknya tak cukup melukiskan arti cinta sejati baginya. Air mata dan bahagia bercampur mengiringi kisah penuh makna dari jejak juangnya. Meski dirinya harus mengalami dua kali jatuh cinta dan dua kali patah hati.
Hingga akhirnya, Allah menutup usianya dengan kisah bahagia (happy ending). Sebuah akhir hidup yang diidam-idamkan oleh setiap muslim dan mukmin sejati. Pergi menuju surga dan meminang bidadari yang sudah disiapkan untuknya, In syaa Allah.
Adalah Dr. Shalah Al Khalidy, seorang akademisi, yang sedikit banyak telah melukiskan penggalan kisah itu lewat bukunya, Biografi Sayyid Quthb, “Sang Syahid” yang Melegenda (Pro U Media, 2016).
Kisah Cinta Pertama
Kisah cinta pertama Sayyid Quthb dimulai saat dirinya masih tinggal di kampung. Gadis incarannya kala itu masih tergolong saudara jauh pria kelahiran Asyut, Mesir ini. Tepatnya, keponakan dari istri pamannya.
Sayyid Quthb muda memang pria yang memiliki pribadian menawan. Ia demikian santun jika menghadapi lawan jenis. Ia tahu benar bagaimana menghormati seorang wanita. Tak ayal, sang gadis pujaan Sayyid Quthb menaruh hati terhadap keberaniannya.
Sayyid Quthb bujang adalah remaja yang berani membela kehormatan perempuan kampung di sekolahnya. Ia juga berani menghadapi para murid lelaki yang mencoba mengganggu mereka.
Tak ayal, pesona anak muda yang kelak menjadi ulama dan sastrawan ini, mampu menaklukan hati tambatan cintanya. Sang gadis kerap mendatangi rumah Sayyid Quthb bersama teman-temannya. Ia beralasan ingin bersua dengan adik perempuan Sayyid Quthb yang masih kecil.
Beribu alasan boleh diucapkannya, berlimpah kilah boleh dilafalkannya, namun insting Sayyid Quthb mampu menangkap sinyal sesungguhnya. Tujuan gadis itu, bagi Sayyid Quthb, adalah dirinya. Ya, pria soleh yang dari kecil tidak pernah lepas mendengar suara tilawah ibunya.
Menariknya, Sayyid Quthb tidak melihat kecantikan gadis itu dari fisiknya. Karena kecantikan hakiki yang mampu menarik hati Sayyid Quthb justru karena sifat dan akhlaknya. Ya, cinta yang diyakini Sayyid Quthb tak akan membuatnya bertepuk sebelah tangan.
Namun apa daya, Sayyid Quthb tidak sempat mengajaknya serius untuk menjadi pendamping halalnya. Ia harus pergi meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Kairo untuk menuntut ilmu. Ya, seorang pria pecinta ilmu yang telah mematok cita-cita menjadi ulama.
Hal pertama yang ia lakukan begitu sampai Kairo adalah bertanya kabar gadis pertama yang singgah di hatinya itu. Namun keinginan hanya tinggal harapan. Kesibukannya menuntut ilmu membuatnya harus kehilangan sang pujaan.
Tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Rasa iba dan sedih membuncah dalam diri sang paduka. Duka, getir, dan lara tiba-tiba menyesaki jiwa mahasiswa Universitas Darul Ulum, Kairo itu. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya menusuk ulu hati hingga menganga.
Al Khalidy sampai menggambarkan akibat kegagalan itu membuat air mata menetes dari kedua pelupuk mata Sayyid Quthb. []
Bersambung