Oleh: Muhammad Iqbal
SAAT itu pukul setengah dua siang, seorang pria paruh baya—sebut saja Pak Ares—sedang menunggu antrean di sebuah klinik yang cukup ternama di Kota Karawang. Ia terlihat gelisah dengan raut wajah yang menunjukkan kecemasan yang mendalam.
Matanya tertuju kepada jam dinding, nampak sesekali pula ia melihat ke arah jam tangan yang ia kenakan di lengan kirinya, seolah ingin memastikan kembali apakah benar jam yang saat itu menunjukkan pukul 13:30 WIB.
Kecemasan Pak Ares cukup menarik perhatian beberapa orang yang saat itu juga ikut mengantre. Hingga ada seorang ibu yang saat itu duduk di sampingnya pun bertanya kepadanya, “Bapak terlihat gelisah sekali, ada apa Pak? Bapak mau masuk duluan? Silahkan, barangkali Bapak ada keperluan yang mendesak,” kata ibu tersebut.
“O ya, Ibu nomor antrean berapa?” tanya Pak Ares.
“31, Pak,” jawab ibu itu.
“Oo… 31 ya, saya justru sebelum Ibu,” sahut Pak Ares, “Nomor antrean saya 30, Bu.”
“Owh… Kalau gitu sebentar lagi giliran Bapak, yang di dalam sekarang nomor 29,” tukas ibu itu.
Dan memang tidak lama kemudian saat jam menunjukkan pukul 13.50, Pak Ares dipanggil oleh suster untuk masuk ke ruangan dokter.
“Selamat siang, Bu Dokter,” dengan nafas agak berat dan wajah masih menunjukkan kecemasan, Pak Ares pun memasuki ruangan dokter.”
“Selamat siang, Pak Ares ya? Silahkan duduk, Pak,” kata Dokter Susi sesuai nama tercantum pada name tag yang terpasang pada jas putih yang ia kenakan.
Pak Ares terlihat semakin cemas dan beberapa kali ia melihat jam tangannya di sela-sela pertnyaan akan keluhan beliau terhadap dokter.
“Pak… Pak…, Pak Ares… Kok nggak fokus ya, ada apa ya, Pak?” tanya dokter.
“Jam dua tepat jadwal makan siang istri saya, Dok. Biasanya saya menyuapinya,” jawab Pak Ares.
“Memangnya istri Bapak sedang sakit? Sakit apa? Kok harus Bapak yang menyuapi? Trus anak-anak Bapak apakah tidak di rumah sehingga bisa menggantikan Bapak menyuapi istri?” beberapa pertanyaan tersebut ditanyakan dokter dengan tenang sambil tersenyum simpatik.
“Sudah 5 tahun ini istri saya sakit stroke, Dok. Anak saya satu-satunya sedang menempuh pendidikan S2 di luar negeri, istri saya baru mau makan banyak kalau saya yang menyuapi, meskipun pembantu saya ada dua orang di rumah,” jawab Pak Ares.
“Trus Bapak bertahan dengan kondisi demikian? Saya lihat fisik Bapak sehat, sangat fit, gagah, kehidupan Bapak cukup sukses dan kaya raya dan maaf… Bapak juga tampan lho, masih bisa cari lagi kok…”
Kemudian dengan nada suara agak berbisik dokter mengatakan, “Terus terang saya terpikat sama Bapak lho, jauh hari sejak kunjungan Bapak pertama kali ke sini,” rayu Dokter Susi dengan senyum memikat dan menebar pesona.
Sejenak Pak Ares terhentak dan menghela nafas seolah terkejut oleh pertanyaan-pertanyaan dokter terlebih rayuan tersebut. Sambil memandang Dokter Susi dengan pandangan yang dalam dan memasang tampang heran, ia pun berkata pelan, “Dok, apapun itu, saya sangat cinta kepada istri saya.”
Kemudian Pak Ares berdiri perlahan ingin bergegas pulang untuk menyuapi istrinya, seraya berkata, “Sepertinya Dokter belum paham apa arti cinta yang sesungguhnya. Silahkan belajar lebih banyak lagi ya Dok. Bagi saya, cinta itu tanpa pamrih,” tegasnya. Kemudian Pak Ares meninggalkan Dokter Susi yang ketika itu terdiam dengan wajah memerah. Dan ketika Pak Ares keluar dan menutup pintu, Dokter Susi tertunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya yang berurai air mata. Dia menangis tersedu seraya berucap, “Ya Tuhan… aku mohon berikan kesembuhan untuk istrinya,” kemudian ia lanjutkan dengan kalimat, “Maafkan saya ya, Bu”.
Sepanjang perjalanan pulang pak Ares nampak sangat ceria. Senyumnya begitu lebar seolah ingin segera berjumpa istrinya untuk menyuapinya. Sesekali ia berucap doa dan melantunkan dzikir, “Subhanallah, walhamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar.” []