Oleh: Iis Nuryati, S.Pd.
“Aku menginginkan yang menjadi istriku itu seorang yang dapat menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya seorang anak yang akan membebaskan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”
BETAPA berbedanya pemuda ini. Visinya tajam dan jelas. Ia tahu cinta saja tidak cukup untuk membangun rumah tangga. Ia sadar bagaimana menempatkan cinta. Ia paham bahwa cinta akan tumbuh dan terus tumbuh saat dibalut dalam kecintaan pada-Nya. Ia pun rela menanggung lamanya waktu untuk bertemu dengan idaman kalbu.
“Aku menginginkan seorang pemuda yang dapat menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya seorang anak yang akan membebaskan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”
Sungguh mengagumkan pemudi ini. Cita-citanya mantap dan menjulang. Ia tak larut dalam kesemuan cinta. Ia yakin cinta sejatinya tertuju pada sang Ilahi. Ia tak ragu, kekuatan cinta Nya akan menemukannya pada sosok yang juga merinduNya. Ia sabar menjaga diri melalui hari-hari demi menunggu kekasih sejati.
Segala puji hanya bagi Allah. Takdir mempertemukan sang pemuda dengan pemudi yang memiliki cita-cita yang sama ini. Tahukah pembaca, siapa pemilik dua kalimat luar biasa itu? Dialah Najmuddin Ayyub dan istrinya. Tak mengenali nama ini? Wajar, karena sosok ini memang tidak begitu terkenal, tapi kalau saya tuliskan nama anaknya, tentu pembaca segera mengenalinya. Ya, Najmuddin Ayyub adalah ayah dari Shalahuddin Al Ayyubi, yang berhasil membebaskan kota Al Quds dan Masjidil Aqsa pada tahun 582 H atau 1187 M.
Masyaallah. Doa yang dilantunkan oleh kedua orangtuanya terwujud sekian puluh tahun berikutnya. Sebuah cita mulia telah mengantarkan pada kisah penaklukan yang melegenda. Sebuah visi mulia telah tertunaikan: kota suci telah kembali ke pangkuan muslimin. Sebongkah cinta yang tak sembarang telah melahirkan seorang pahlawan besar.
Inilah kekuatan cita dan cinta. Apabila menyatu dalam diri kita dan keluarga kita, niscaya ia akan melahirkan kekuatan yang dahsyat. Cita-cita atau visi yang jelas akan memberi arah ke mana kita berjalan. Sebuah keluarga yang memiliki visi surga tentu berbeda dengan keluarga yang dibentuk tanpa cita-cita. Visi surga akan mendorong keluarga melakukan aktivitas yang berorientasi surga juga. Sedangkan keluarga yang tak punya cita-cita, akan menghabiskan waktunya tanpa arah dan tujuan, asal jalan saja.
Adapun cinta, ia yang akan mewarnai hari-hari dalam mewujudkan cita. Kerasnya hidup, terjalnya jalan dan beragamnya ujian merupakan keniscayaan dalam menggapai impian. Tanpa dibalut cinta, meraih cita akan terasa sulit, gersang, dan hambar. Jalan yang berliku akan makin berliku tanpa naungan kasih keluarga. Beratnya tantangan akan makin berat tanpa tetesan sayang orang-orang terdekat di sekitar. Inilah cinta yang berkah, cinta yang melahirkan cita-cita yang berkah, dan mengajak pemiliknya untuk mewujudkan cita-cita yang berkah pula.
Dan apa kabar ci(n)tamu?
Apakah ia serupa dengan ci(n)tanya Najmudin Ayyub? Yang dipelihara dan dikobarkan meski harus menempuh waktu yang lama? Apakah cintamu sebagaimana cintanya Najmudin Ayyub? Yang ditumbuhkan oleh doa dan melahirkan kekuatan tak terkira? Mari kita tengok hati kita dan kita jawab sejujur-jujurnya. []