Oleh: Fitri Amalia
SEBAGAI puteri seorang ulama di kampungnya. Nia dibesarkan dengan akidah yang lurus oleh orangtuanya, jauh dari segala tahayul juga budaya nenek moyang yang melenceng dari akidahnya. Meski tak khusus belajar di sekolah agama, Nia mengerti mana kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama, mana yang tahayul juga mana yang termasuk hal-hal syirik.
Kata-kata awas pamali, jangan duduk di depan pintu takut jauh jodoh. Atau kata tak masuk akal lainnya tak pernah Nia dengar dari orang tuanya.
BACA JUGA: Mau Jadi Orang Sakti dan Sukses? Pake Susuk?
Hari berganti, musimpun berlalu dari musim rambutan, mangga akhirnya sampai juga musim duren. Seiring musim yang berganti begitu juga Nia. Ia pun tumbuh menjelma menjadi gadis manis. Seperti gadis manis lainnya beberapa pria mulai mendekatinya. Tetapi pilihan Nia jatuh pada Rama, pria gagah dari RT lima. Mas Al penjaga masjid lah pak comblang yang mengenalkan Nia dengan Rama. Usaha Pak comblang yang di lakukan Mas Al berjalan lancar. Akhirnya Nia dan Rama berjodoh.
Ramai acara pernikahaan. Para tetangga ikut membantu acara masak di rumah Nia dari sehari sebelumnya. Saat tetangga sedang repot masak di bawah tenda, langit tiba-tiba mendung, awan gelap tampak menghampiri lalu terdengarlah suara menggelegar. Tapi bukan suara petir, melainkan suara si Enyak tetangga depan rumah.
“Nia … Nia …, mana celana dalem Lo, mendung nih, sini Enyak lempar ke atas genteng, orang lagi pada masak, takut ujan!”
“Heizzz …, apa apan sih Nyak, tahyul itu, Nia mah ngga pake yang kaya begituan,” jawab Nia sambil malu karena Nyak meminta barang pribadinya.
Ternyata acara tahyul bukan cuma itu saja. Di tempat masak juga ada dupa beserta sesajen yang sudah di siapkan Enyak tetangga depan. Nia pun segera menyingkirkannya sambil pesan sama tetangga yang lain
“Ibu-ibu, jangan bilang-bilang Nyak ya kalau dupanya udah Nia buang!”
Esok harinya acara pernikahan berlangsung hikmat, Nia dan Rama duduk di pelaminan. Jadi Ratu dan Raja meski cuma sebentaran. Dengan acara yang tidak berlangsung seharian maka pengantin, anggota keluarga juga para tamu tetap bisa menjalankan salat pada waktunya.
Sebulan setelah acara pernikahan, ternyata pihak keluarga pengantin laki-laki menginginkan ada pesta juga di rumahnya. ‘Ngunduh mantu’ istilahnya. Tapi pesta ini ternyata tidak seperti pesta yang diadakan di rumah Nia. Di sini pesta berlangsung semalaman full musik dan panggung dangdut dengan biduan wanitanya. Hiikk …, Nia bersedih, orang-orang pada goyang dombret di acara pesta pernikahannya yang harapannya berlangsung dengan santun.
Beberapa bulan kemudian Nia yang tinggal di rumah mertuanya ini hamil. Di sinilah akidahnya benar-benar di uji. Banyak hal janggal yang diperintahkan mertuanya. Mulai dari harus membawa gunting kecil kemana-mana, sering mencuci perutnya agar bayi lahir bersih. Suami tidak boleh mancing, agar bibir calon bayi tidak sumbing, tidak boleh keluar menjelang magrib sampai malam meskipun sebenarnya hanya ingin ke warung. Harus berkata ‘amit-amit’ setiap waktu serta masih banyak lagi yang kesemuanya tidak masuk akal. Di samping itu, menurut Nia ini semua tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Tapi untunglah Nia sudah dibekali nilai akidah yang lurus sejak kecil oleh orang tuanya, sehingga dosa syirik akibat berlindung pada gunting dan lain sebagainya bisa Nia hindari.
Hari berganti dan perut Nia makin membesar, sang ibu mertua yang sayang cucu dan menantu ini sangat perhatian.
BACA JUGA: Tali Pocong Tak Dilepas Bikin Arwah Jenazah Gentayangan, Benarkah?
“Nia .. Nia, perutmu harus rajin di urut ya biar posisinya pas,” kata ibu mertua.
“Tapi Bu, kata dokter ngga boleh diurut, bahaya Bu,” kilah Nia.
“Eh, kamu dibilangin sama orang tua,”sahut mertua Nia.
Hari berlalu, ternyata Nia ada masalah dengan kandungannya, anaknya sungsang. Mungkin karena saat itu Nia bekerja jadi harus mengetik dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Karena Nia kurang gerak maka bayinya tidak berada pada posisi yang pas. Jadi terpaksa ia harus lahir dengan jalan operasi. Dan apa kata mertua Nia?
“Makannya di bilangi orang tua disuruh urut, ngga mau nurut sih.”
Nia hanya tersenyum, kemudian mertua Nia menyodorkan segelas air.
“Nih minum, Ibu mintain air ke orang pinter, semoga kamu ngga jadi operasi.”
Nia menggeleng.
“Engga Bu, nia ngga pake gini-ginian biar Nia bero’a aja minta tolong sama Allah. Operasi juga ngga papa ko Bu. Dah banyak orang yang operasi Bu, dan sehat-sehat aja.”
Saat di rumah sakit Nia bersebelahan dengan orang Bali, pasien operasi juga yang bayinya meninggal di perut. Ia pendarahan setelah perutnya di urut oleh tukang urut, karena posisi bayinya yang sungsang. Katanya, usus yang menyambung ari-ari dan bayi putus setelah si tukang urut memutar bayinya. Akhirnya ibu ini harus operasi sedang bayinya sendiri tak tertolong lagi. Nia pun membatin.
“Alhamdulillah, untung saya ngga diurut, jadi bayi saya selamat.”
Selepas lahiran ternyata hal-hal seperti ini tidak kunjung berahir, justru makin banyak pas si cucu hadir ke dunia. Mulai dari sapu lidi yang disuruh menjaga bayi, sampai dengan bengle benda mirip kunyit yang harus selalu dipasang kan menggunakan peniti di baju sang bayi. Saat Nia pulang kerja nia mencopot peniti bangle yang menempel di baju anaknya. Paginya waktu berangkat kerja peniti bangle ini akan menempel lagi. Begitu setiap hari.
Buat Nia tidak mudah menghadapi mertua yang sayang menantu dan cucu ini. Potensi konflik hampir terjadi setiap saat, bantahan-demi bantahan tetap Nia sampaikan dengan hati-hati. Tak jarang wajah kesal tampak di raut mertuanya. Tapi mau bagaimana lagi Nia juga ingin menjaga akidah anaknya sejak ia masih dalam kandungan.
* * *
Waktu berlalu dan saat hamil anak ke-dua Nia jalani dengan happie. Nia sudah punya rumah sendiri, jadi saat hamil dan punya bayi Nia tidak khawatir dengan segala mitos dan tahyul. Ia jalani kehamilannya dengan banyak mengaji. Lalu Alhamdulillah anak kedua lahir denga sehat, bayinya juga gemuk, besar, putih dan bersih . Jauh sekali dari keadaan fisik anak pertamanya yang saat itu kurus dan sering sakit-sakitan.
Di saat inilah mertua Nia berkata.
“Ternyata ngga pake gitu-gituan juga ngga papa ya, ini anak malahan lebih sehat.”
“Iya lah bu, mending juga berdo’a ke Allah daripada berlindung ke gunting, sapulidi, apalagi bangle. Dosa Bu,” jawab Nia []