Oleh: Muhammad, Jakarta
ALLAH itu ada. Ia lebih dekat daripada urat nadi kita. Ia tahu jahir dan isi batin kita. Ia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Memberi apa yang kita pinta, memberi apa-apa yang tidak kita pinta.
Ini kisah lama. Lebih dari sepuluh tahun lalu kejadiannya. Saya, Rudi, dan Adi menjadi instruktur pesantren kilat yang diadakan sebuah SMU favorit di Jakarta. Acara itu diadakan di sebuah vila kawasan Puncak.
Setelah acara selesai kami bertiga tidak ikut rombongan pulang ke Jakarta. Saya dan Adi memutuskan ikut Rudi melakukan survei. Rencananya Rudi akan mengadakan Tafakur Alam untuk lingkup fakultas tempatnya kuliah. Cibodas, kaki Gunung Gede, tempat yang diincar. Jadi, kami bertiga melanjutkan perjalanan ke Cibodas.
Sampai di Persimpangan Cipanas-Cibodas kami turun. Hari masih pagi benar. Rencananya kami sarapan. Di situ ada warung bubur ayam. Enak dan murah. Cocok dengan isi kantong kami. Setelah dihitung oleh Rudi, imam safar kami, uang kami hanya cukup untuk sarapan bubur dan ongkos pulang.
Memang jika ada acara keluar kota, kami biasa berjalan berdua atau bertiga. Kami memilih salah seorang sebagai imam perjalanan. Uang dikumpulkan. Dengan begitu yang kurang bisa ditutupi oleh yang berlebih. Sayangnya, di antara kami bertiga saat itu tidak ada yang berkelapangan. Masing-masing hanya membawa uang pas-pasan. Untuk ongkos angkot dari Persimpangan Cipanas-Cibodas ke Cibodas pun kami tidak punya. Jadi, setelah sarapan bubur nasi kami harus jalan kaki ke tempat tujuan.
Pagi. Dingin. Lapar. Kami harus jalan kaki ke Cibodas. Warung bubur yang kami incar tidak buka. Perut keoncongan. Kami berjalan, berjalan, dan berjalan. Sepanjang jalan kami berdzikir. Berdzikir akan menanbah kekuatan, begitu kata seorang ustadz. Akhirnya, tiba juga kami di gerbang Cibodas.
Dengan uang jatah sarapan kami beli salak. Jadilah kami sarapan salak. Setelah itu kami ke areal perkemahan untuk melihat-lihat tempat yang cocok untuk base camp acara tafakur alam nanti. Tak lupa kami cek track yang kira-kira menarik untuk dilintasi. Kami memilih jalan ke arah naik Gunung Gede. Sayang, kami tak punya uang untuk membayar tiket masuk. Artinya, kami mencari jalan lain. Melintasi lembah, menerabas semak-semak, mengikuti bekas aliran air hujan, dan menyusuri lereng bukit. Akhirnya, kami menemukan jalan utama ke Gunung Gede.
Kami tentukan tempat-tempat yang pas untuk pos pemberhentian nantinya. Akhir, perjalanan adalah telaga. Tentu saja kami mengecek hingga ke sana. Alhamdulillah, energi dari salak yang kami makan tadi pagi cukup menggerakan kaki kami hingga ke sana. Kami shalat. Jama’ qashar ta’khir. Usai shalat kami dapati kami adalah rombongan terakhir di sana. Sebelumnya ada rombongan remaja keturunan Cina. Mereka telah turun. Asyik sekali mereka berjalan sambil mengunyah coklat.
Saya berkata ke Rudi dan Adi, memang paling enak makan coklat di cuaca dingin begini. Coklat itu kalori banyak. Tentu tubuh kita tidak akan kedinginan. Ya, begitulah orang kalau tidak mampu yang sedang kedinginan dan perut keroncongan. Cuma bisa berangan-angan.
Setelah cukup melihat-lihat kami pun turun. Tapi, belum jauh kami melangkah, ajaib, ada tiga batang coklat tergeletak di tanah! Subhanallah! Kami celingukan. Mencari-cari siapa pemilik coklat-coklat itu. Kami yakin betul tidak ada orang lain. Hanya kami bertiga. Mungkinkah ini coklat dari langit?
Alhamdulillah, kami dapat mengisi perut kosong kami dengan coklat itu. Masing-masing satu batang. Alhamdulillah. Dengan tambahan tenaga dari coklat itu kami berjalan hingga ke Jalan Raya Cipanas. Kami menunggu bis ke Jakarta. Lama tak kunjung datang. Hujan turun. Kami basah. Dingin. Tak ada bis ke Jakarta. Hari Ahad semua bis Bandung tidak lewat Puncak. Semua dialihkan ke jalur Sukabumi atau Purwakarta. Tapi, kami tak putus asa. Sambil sekali-kali mengacungkan jari ke mobil-mobil pribadi berplat Jakarta, kami berjalan ke arah Puncak.
Saya berkata ke teman-teman, alangkah indahnya kalau ada bapak-bapak tanya ke kita, mau kemana dek, kita jawab ke Jakarta. Tidak ada bis. Sudah nginep saja di vila bapak, besok baru ke Jakartanya. Wah, sedap! Begitu kata saya.
Rudi dan Adi tertawa. Menertawakan angan-angan saya yang tak mungkin itu. Tapi, belum berapa jauh kami melangkah tiba-tiba ada suara menegur kami. Datang dari seorang pemuda kira-kira usianya tiga tahun di atas kami. Ia menanyakan persis seperti yang saya angan-angankan. “Tidak ada bis ke Jakarta. Sudah, nginep saja di vila kakak saya,” begitu katanya. Subhanallah!
Betapa banyak kemurah yang Allah berikan kepada kami. Padahal, tidak kami memintanya secara sungguh-sungguh. Kami tidak berdoa secara khusus. Kami hanya berseloroh. Tapi, Allah memberinya lebih. Kami dapat makan malam gratis, salinan baju kering dan hangat, serta tempat tidur yang nyaman. Seperti itulah Allah menunjukkan keberadaannya kepada kami. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.